Setiap Bertemu Harus Didampingi Orang Ketiga
Yuli Setyo Budi, Surabaya Pada Minggu pagi menjelang kajian di sebuah masjid kawasan Wiyung, muncul seorang pemuda, sebut saja Liting. Usianya sekitar 22 tahun. Kepada beberapa jemaah yang menunggu kehadiran ustaz, dia menyatakan keinginan bertemu sang ustaz. “Aku ingin belajar,” katanya singkat. “Belajar apa?” tanya seorang jemaah muda. Liting diam. Bola matanya berputar-putar tanpa arah. “Aku berencana menikah, Mas,” kata Liting. “Lantas, apa hubungannya dengan kamu pelajari si sini?” “Aku ingin belajar sembahyang dan ngaji.” “Sembahyang? Sembahyang itu peribadatan orang Hindu. Jadi, jangan ditanyakan di sini.” Liting mengkeret mendengar jawaban jemaah muda tadi, yang terkesan disangar-sangarkan. Tidak lama kemudian malah pecah tawa di antara mereka. Jemaah muda tadi minta maaf karena sengaja ngerjain Liting. Tujuannya hanya untuk meluruskan bahwa istilah sembahyang bukan dari Islam. Orang muslim mengistilahkan komunikasi hamba dan penciptanya dalam istilah salat. Dengan sedikit joke itu, suasana keakraban justru cepat terjalin antara Liting yang pindahan dari Banyuwangi dengan para jemaah. Selanjutnya Liting sudah tidak sungkan menjelaskan maksud kedatangannya ke majelis ilmu itu. “Aku hendak menikah, Mas. Calonku dari keluarga yang taat beragama. Mereka tinggal di Jombang,” cerita Liting. Kisahnya berawal saat penerimaan mahasiswa baru di sebuah universitas swasta ternama di Surabaya Selatan. Saat itulah Liting bertemu mahasiswa baru cewek. Namanya sebut saja Ningsih (21). Mereka berkenalan. Tak lama setelah itu Liting bermain ke rumah Ningsih. Tidak disangka, ternyata Liting tidak ditemui Ningsih, melainkan ditemui ayahnya, sebut saja Fatah. Tanpa basa-basi, pada pertemuan perdana itu Fatah menanyakan hal-hal yang tidak diduga Liting sebelumnya. Yaitu, apa tujuan Liting bermain ke rumah Ningsih; apakah Liting benar-benar tertarik kepada Ningsih dan berniat menjalin hubungan serius? Liting yang merasa seperti masuk jebakan Batman tidak mampu berucap, selain mengangguk dan mengangguk. “Kalau memang Nak Liting serius, dengarkan ucapan Bapak,” kata Fatah. Liting yang belum sempat mencerna kata-kata Fatah hanya mampu mengangguk lagi. Kemudian dia mendengarkan syarat-syarat yang harus dipenuhi bila Liting memang tertarik kepada Ningsih. Pertama, mereka (Liting dan Ningsih) harus menyelesaikan kuliah dulu sebelum menentukan langkah selanjutnya. Kedua, selama belum terikat pernikahan sah, Liting dilarang keras bertemu muka dengan Ningsih tanpa disertai minimal satu orang lain. Ketiga, pada saat akad nikah nanti, Liting diminta membayar mahar berupa salat dua rakaat seperti yang dicontohkan Rasulullah dan memperdengarkan hafalan minimal satu juz Alquran. “Tahun depan aku perkirakan sudah lulus kuliah dan langsung akan meminang Ningsih. Tapi, jujur saja sampai sekarang aku merasa belum sempurna salat seperti yang dicontohkan Rasulullah. Aku juga merasa belum sempurna dalam menghafal Alquran. Karena itu, aku bermaksud minta bimbingan ustaz,” kata Liting. Mendengar uraian Liting, para jemaah tertegun. Semua menaruh simpati kepada pemuda tersebut. Pada saat mereka terbelenggu imajinasi masing-masing, tiba-tiba terdengar uluk salam, “Assalamualaikum warohmatullahi wabarokatuh.” Liting dan beberapa jemaah tadi menoleh. Ternyata yang datang adalah ustaz yang mereka tunggu-tunggu. Mereka terkejut. Keterkejutan lebih justru dirasakan Liting. Sebab, dia sangat mengenal sosok ustaz tersebut. (bersambung)
Sumber: