Seniman Surabaya Resah, Evaluasi Ulang Ekskul Mobile Legends Masuk Sekolah
Kusnan, seniman Kota Surabaya--
BACA JUGA:Rekomendasi SMA Swasta Unggulan di Surabaya Tahun 2025
Disadari atau pun tidak, warga surabaya menyekolahkan anaknya di SD - SMP Negeri bukan karena milai tinggi atau mampu. “Namun karena biaya sekolah SD Negeri dan SMP Negeri karena gratis,” katanya.
Data dari RS Jiwa Menur, menunjukan peningkatan yang sangat tinggi, terkait gangguan kejiwaan akibat Judi on Line, bulan Januari sampai Desember 2024 terdapat 68 pasien. Saat ini di bulan Mei 2925 sudah mencapai 51 pasien, diantaranya ada anak usia remaja 14 tahun.
“Tragedi ini seharusnya menjadi sinyal kewaspadaan dan kaca benggala yang sangat serius, bukan hanya soal mengikuti trend perkembangan tekhnologi namun juga siapa yang bermain, dan bagaimana menjaga struktur mental anak-anak kita merespons dunia virtual yang tanpa batas. Yang menghasilkan waktu tatap muka akan semakin berkurang dengan keluarga. Dan itu bukan karakter warga Kota Surabaya yang egalitar dan terbuka,” komentar Kusnan.
Permainan digital seperti Mobile Legend memang memiliki dua sisi, positif dan negatif. Penelitian Anderson dan Bushman (2017) menyatakan bahwa game strategi bisa melatih logika dan pengambilan keputusan. Namun, keterlibatan intens dalam game kompetitif juga bisa meningkatkan impulsifitas dan agresivitas sosial bila tidak dibarengi dengan pendidikan karakter dan regulasi emosi yang kuat.
BACA JUGA:Siti Marwiyah Selangkah Lagi Jadi Rektor Unitomo, Siapkan Visi Membangun Kualitas dan Kemitraan
Survei We Are Social 2023 mencatat bahwa 70 persen anak usia 10–15 tahun di Indonesia sudah memainkan game daring minimal satu jam per hari. Menjadikan game sebagai kegiatan resmi di sekolah tanpa keseimbangan nilai, batasan waktu, dan pengawasan yang ketat bisa memperbesar risiko kecanduan dan menurunkan ketahanan sosial-emosional anak.
“Namun dari sekian banyak referensi penelitian dari jonedu.org - researchgate atau Jurnal of Educational review and research menunjukan sisi Negatif penggunaan Game Online lebih banyak. Sebaliknya, pendekatan berbasis pendidikan karakter dan pencegahan bullying terbukti menurunkan tingkat kekerasan di sekolah,” tandas Kusnan.
Kusnan mencontohkan program Olweus Bullying Prevention, berhasil menurunkan angka perundungan hingga 25 persen di sekolah yang menerapkannya secara menyeluruh.
“Pendidikan karakter juga terbukti meningkatkan daya tahan anak terhadap tekanan sosial, terutama bagi kelompok rentan yang rawan putus sekolah,” katanya.
BACA JUGA:Unusa Lampaui Sejumlah Kampus Bergengsi, Tembus 6 Besar Jatim di Pemeringkatan Scimago
Dengan melihat data ini, menghadirkan ekstrakurikuler Mobile Legend di sekolah-sekolah SD dan SMP di Surabaya untuk dikaji ulang, atau hanya sebatas pelengkap—bukan prioritas utama. Sebab Yang lebih mendesak adalah membenahi ekosistem belajar yang aman, membangun budaya hormat, Mengenalkan kembali Tentang Etika dan Moral serta memastikan tidak ada lagi anak usia Sekolah tidak ke sekolah, lantas tersakiti dalam proses belajar.
“Surabaya bukan kekurangan ruang digital, melainkan kekurangan ruang aman dan ramah untuk anak. Kita tidak sedang berlomba siapa yang paling dulu masuk ke dunia metaverse, tetapi siapa yang paling sigap menjaga kesehatan mental dan nilai-nilai kemanusiaan generasi muda. Kita bisa mendekatkan diri pada dunia anak lewat teknologi. Namun, akan lebih bijak jika langkah itu diiringi kepedulian penuh atas potensi dampak negatif yang mengintai. Tanpa pendidikan karakter yang kuat, teknologi justru bisa menjadi bumerang atau pisau bermata dua,” tegas mantan aktivis reformasi 98 ini.
Pendidikan bukan sekadar mengikuti tren, tetapi tentang membangun fondasi. Karakter, dimana saat anak-anak masih berjuang sendiri melawan virus kekerasan, virus kesepian, dan virus ketercerabutan nilai di lingkungan sekolah. “Saya berharap anti virus yang dibawa bernama Mobile Legend bukan dijadikan pilihan yanh tidak bisa ditolak,” tutup Kusnan. (day)
Sumber:



