umrah expo

Suporter Bukan Customer

Suporter Bukan Customer

Catatan Redaksi Anis Tiana Pottag.--

Sepak bola lahir dari semangat kolektif, bukan dari transaksi ekonomi. Namun di era modern, wajah industri olahraga mulai berubah.

Klub yang dulu berdiri karena kecintaan komunitas kini perlahan menjelma menjadi entitas bisnis yang sibuk menjual tiket, jersey, dan narasi.

Stadion pun tak lagi terasa sebagai rumah bersama, melainkan etalase tempat para suporter lebih sering dianggap sebagai “pelanggan” daripada bagian dari keluarga besar klub.

Padahal, suporter bukan customer. Mereka bukan sekadar pembeli tiket atau penyumbang statistik penonton.

BACA JUGA: Alarm Bahaya Akibat Bullying yang Tak Terselesaikan

BACA JUGA:Korupsi Adalah Adat


Mini Kidi--

Mereka adalah elemen vital dalam ekosistem olahraga jiwa yang menghidupkan pertandingan dan menjaga identitas klub.

Pandangan ini sejalan dengan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2022 tentang Keolahragaan, yang menegaskan bahwa olahraga adalah bagian dari kebudayaan nasional dan aktivitas sosial yang bertujuan membentuk kepribadian, solidaritas, dan sportivitas.

Dalam kerangka hukum ini, suporter memiliki posisi moral dan sosial yang harus dihormati, bukan diperlakukan semata sebagai pasar konsumsi.

Lebih jauh lagi, ketika klub atau penyelenggara memperlakukan penonton hanya sebagai objek komersial tanpa perlindungan yang adil, maka prinsip Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen juga ikut relevan.

Suporter berhak atas keamanan, kenyamanan, dan keadilan dalam menikmati pertandingan.

Jika mereka harus membayar tiket mahal, membeli merchandise resmi, dan mematuhi aturan ketat di stadion, maka mereka pun layak memperoleh perlakuan etis bukan dijadikan target eksploitasi ekonomi atau obyek promosi tanpa partisipasi.

Sayangnya, di tengah arus branding dan kampanye digital, banyak klub dan pengelola liga yang lupa akan nilai dasar ini.

Ruang kebebasan berekspresi di tribun mulai dibatasi, harga tiket melambung, dan keputusan manajerial sering diambil tanpa melibatkan suara komunitas. Semangat kebersamaan yang dulu menjadi nafas suporter kini diganti oleh logika “engagement” dan “monetisasi.”

Sumber: