Keselamatan Bukan Pilihan tapi Kewajiban
--
Runtuhnya bangunan Pondok Pesantren Al Khoziny di Sidoarjo bukan hanya tragedi kemanusiaan, melainkan peringatan keras tentang rapuhnya tata kelola pembangunan pendidikan di Indonesia.
Belasan korban jiwa, luka-luka, dan trauma mendalam menjadi catatan kelam.

Mini Kidi--
Keinginan menambah ruang belajar sering kali berjalan lebih cepat daripada kemampuan manajerial dan kualitas konstruksi.
Insiden di Ponpes Al Khoziny terjadi saat proses pengecoran lantai bangunan.
BACA JUGA:Antara Keseimbangan Data dan Hidup Nyata
Peristiwa ini menyingkap lemahnya pengawasan serta minimnya kepatuhan terhadap standar teknis konstruksi.
Keselamatan bangunan pendidikan bukan hanya soal fisik, melainkan tanggung jawab moral.
Santri dan guru mempercayakan nyawa mereka pada dinding yang seharusnya kokoh, sehingga keselamatan bukan pilihan tapi kewajiban.
Bila standar keselamatan diabaikan, maka pendidikan berubah menjadi taruhan hidup.
Ada tiga pelajaran penting dari runtuhnya bangunan Ponpes Al Khoziny.
BACA JUGA:Basmi Judi Merpati Masikah Jadi Atensi Cak Eri
Pertama, pembangunan lembaga pendidikan wajib diawasi ketat oleh pemerintah dan pihak internal pesantren, terpenting standar teknis konstruksi tidak bisa ditawar.
Kedua, lembaga pendidikan perlu terbuka berkoordinasi dengan dinas terkait, bukan hanya mengandalkan tenaga seadanya.
Ketiga, masyarakat harus lebih kritis dan berani mengingatkan bila melihat pembangunan berisiko.
BACA JUGA:Surabaya Digital, Pungli Masih Kental
Tragedi di Ponpes Al Khoziny menjadi pengingat bahwa pendidikan bukan hanya soal kurikulum dan metode, tetapi juga ruang belajar yang aman dan manusiawi.
Negara, pemerintah daerah, dan masyarakat memiliki tanggung jawab moral memastikan hal ini tidak berulang.
Ponpes Al Khoziny telah menjadi pelajaran mahal bahwa pembangunan tanpa keselamatan adalah kecerobohan yang berujung duka.
Sumber:



