Oleh : Dr. Mia Amiati, SH, MH, CMA*)
Apa yang terbenak di pikiran kita ketika mendengar kata Hari KARTINI ?
Apakah ketika itu kita harus berdandan rapih seharian dengan menggunakan kostum kebaya seperti sosok seorang Ibu Kartini?
Atau tampil dengan menggunakan atribut kebaya yang anggun dengan segenap asesorisnya yang menunjukkan keberadaan kelasnya dalam suatu sosialita kaum Perempuan Indonesia?
Tak ketinggalan di kalangan para designer kebaya di lingkungan tanah air kita dikenal istilah “Kebaya Kartini”.
Bahkan ada beberapa aturan yang diterapkan oleh beberapa institusi baik di lingkungan Pemerintah maupun di lingkungan swasta bagi seluruh pegawai perempuan untuk menggunakan kostum kebaya seharian selama menjalankan aktivitasnya di kantor pada Peringatan Hari Kelahiran RA Kartini.
Sebagai suatu bentuk penghormatan kepada Tokoh RA Kartini yang merupakan salah satu pelopor pejuang emansipasi bagi kaum perempuan Indonesia, semua hal tersebut di atas, sah-sah saja, sebagai suatu upaya untuk menunjukkan semua peran Ibu RA Kartini sudah melekat pada keseharian sosok seorang perempuan Indonesia., namun jika pengertian kita hanya sebatas itu, sudah saatnya kita merubah cara pandang kita.
Kini makna memperingati hari lahir Ibu RA Kartini di indonesia telah banyak yang menyalahartikan. Hampir semua orang menganggap bahwa peringatan hari lahir ibu RA Kartini adalah hari dimana kita berlomba-lomba memperingati sosok kebesaran seorang tokoh perempuan Indonesia dengan berdandan dan tampil dengan atribut Kebaya Kartini.
Memang tidak salah ketika tanggal 21 April kita menjadikan moment spesial buat seorang perempuan dan atau seorang ibu. Namun bicara soal peringatan Hari Kartini, kita perlu mengetahui sejarah dari sosok perjuangan Ibu RA Kartini, sehingga kita tidak salah mengartikan makna sesungguhnya dari “Hari Kartini”.
Peringatan Hari Lahir R.A. Kartini dimaksudkan untuk senantiasa mengingatkan kepada seluruh rakyat Indonesia terutama generasi muda akan makna Hari Kartini sebagai hari kebangkitan perjuangan kaum perempuan Indonesia yang tidak terpisahkan dari kebangkitan perjuangan bangsa dan sebagai momentum untuk mengenang dan menghargai semangat seorang tokoh R.A. Kartini yang menegakkan emansipasi bagi kaum perempuan Indionsia, sebagaimana sejarah mencatatnya.
Mengacu kepada sejarah yang mencatat bahwa untuk menghormati dan mengingat perjuangan serta jasa Kartini, pemerintah kemudian menetapkan Peringartan Hari Lahir R.A. Kartini yang diperingati oleh seluruh Bangsa Indonesia berdasarkan Keputusan Presiden Republik Indonesia No 108 Tahun 1964 yang ditandatangani oleh Presiden pertama Republik Indonesia Ir Sukarno pada tnggal 2 Mei 1964,
bahwasanya ditetapkannya Kartini sebagai Pahlawan Kemerdekaan Indonesia. Selain itu, pemilihan tanggal 21 April sebagai Hari Kartini juga karena tanggal tersebut adalah hari kelahiran Kartini, yang jatuh pada tanggal 21 April 1879.
Pada kesempatan ini, Penulis mencoba Memaknai Peringatan Hari Kartini dengan Memahami Kesetaraan Gender
Politik Etis dan Kebangkitan Perempuan Indonesia
Berbicara mengenai peranan kebangkitan perempuan dalam sejarah perjuangan Bangsa Indonesia, tidak bisa lepas dari pengaruh pemikiran perjalanan bangsa di era Raden Ajeng Kartini.
Sejarah mencatat Anti Tesis R.A. Kartini mengenai “Habis Gelap Terbitlah Terang” merupakan anomali pemikiran positif yang tidak sepikiran kaumnya pada zamannya.
Pemikiran itu secara sengaja diberi ruang yang hakikatnya tidak terlepas dari implikasi politik etis Van de Fenter (anggota Volksraad Belanda). Politik etis itu sendiri merupakan politik “balas budi” penjajah yang memberi kesempatan kepada segelintir rakyat jajahan untuk menikmati pendidikan.
Kartini, Dewi Sartika, Tjut Nyak Dien, Nyi Ageng Serang dan Kristina Martha Tyahahu adalah beberapa di antara perempuan yang sempat mengenyam pendidikan. Sebagaimana diketahui akhirnya mereka inilah yang berdasarkan perannya mampu berbuat banyak bagi negara dan bangsa Indonesia terutama bagi kaumnya.
Berkat Kartini, perempuan bukan lagi sosok yang hanya berdiam di rumah, mengurus suami dan anak. Perempuan Indonesia bisa menjadi apa pun dan berkontribusi bagi kemajuan bangsa.
Kartini adalah pejuang emansipasi kaum perempuan. Jasanya membuat para perempuan Indonesia kini bisa mengenyam pendidikan setinggi-tingginya, berpartisipasi dalam kursi pemerintahan, atau bekerja dengan profesi tinggi dan kedudukannya setara dengan laki-laki.
Dikutip dari jurnal “R.A Kartini: Emansipator Indonesia Awal Abad 20”, Raden Ajeng Kartini atau bernama asli Raden Ayu Kartini merupakan anak pasangan RMAA Sosroningrat dan M.A Ngasirah. Ayahnya merupakan Bupati Jepara, seorang priyayi dan aristokrat. Sosroningrat dikenal sebagai bupati yang intelek dan pandai berbahasa Belanda.
Pada tahun 1885, Kartini bersekolah di Europesche Lagere School (ELS) atau setara dengan Sekolah Dasar (SD). Kartini adalah anak pribumi Indonesia yang saat itu diizinkan mengikuti pendidikan di ELS.
Sebab, hanya anak dengan orang tua dengan jabatan tertinggi pemerintahan yang bisa ke sana. Bahasa pengantar di ELS sendiri adalah bahasa Belanda, sehingga Kartini bisa meningkatkan kemampuan bahasanya.
Kemampuan berbahasa Belanda ayahnya itu kemudian menurun pada Kartini. Dia belajar secara otodidak dan mulai menulis surat dengan sahabat pena yang berasal dari Belanda.
Kartini juga gemar membaca. Salah satu buku bacaannya adalah buku berbahasa Belanda, seperti De Stille Kraacht karya Louis Coperus dan Die Waffen Nieder karya Berta von Suttner.
Bacaan-bacaan itulah yang menumbuhkan pemikiran ala perempuan Eropa yang maju pada diri Kartini. Sementara di Indonesia, pada saat itu, status sosial perempuan masih dipandang rendah.
Sayangnya, Kartini sama seperti perempuan pribumi yang malang tersebut. Setelah lulus dari Europeesche Lagere School, Kartini memiliki keinginan untuk melanjutkan pendidikan tinggi.
Namun keinginan itu sirna setelah orang tuanya menentang. Kartini tidak bisa melanjutkan pendidikan ke jenjang berikutnya karena ditentang oleh sang Ayah.
Ia dipaksa untuk menjadi putri bangsawan dengan mengikuti adat istiadat yang berlaku. Kartini lalu dipingit selama bertahun-tahun dan baru benar-benar diperbolehkan keluar pada 1898.
Kemudian, ia banyak menghabiskan waktu di rumahnya. Kartini yang selalu di rumah, akhirnya mengumpulkan buku-buku pelajaran dan ilmu pengetahuan untuk dibacanya di taman rumah. Lalu, muncul keinginan Kartini untuk memajukan kehidupan wanita Indonesia.
Baginya, wanita tidak hanya di dapur, tetapi juga harus mempunyai ilmu. Ia mulai mengumpulkan teman-teman wanitanya untuk diajarkan tulis menulis dan ilmu pengetahuan lainnya.
Di tengah kesibukannya, ia tidak berhenti membaca dan menulis surat kepada teman-temannya yang berada di negeri Belanda.Setelah itu, Kartini sempat menulis surat kepada Mr.J.H Abendanon dan memohon agar diberikan beasiswa untuk bersekolah di Belanda.
Namun, beasiswa tersebut tidak sempat dimanfaatkan Kartini karena ia dinikahkan oleh orang tuanya dengan Raden Adipati Joyodiningrat.
Setelah menikah, Kartini harus ikut suaminya ke daerah Rembang. Suaminya mendukung keinginan Kartini mendirikan sekolah wanita di sebelah timur pintu gerbang kompleks kantor kabupaten Rembang atau terbilang di sebuah bangunan yang kini digunakan sebagai Gedung Pramuka.
Kartini melahirkan seorang anak yang diberi nama Soesalit Djojoadhiningrat, pada tanggal 13 September 1904.
Namun, tidak lama setelah melahirkan, Kartini meninggal di usia 25 tahun pada 17 September 1904. Dan ia akhirnya dimakamkan di Desa Bulu, Kecamatan Bulu, Rembang.
Semasa hidupnya, Kartini memiliki cita-cita ingin melihat perempuan pribumi dapat menuntut ilmu dan belajar. Maka dari itu, ia banyak memberi perhatian khusus pada masalah emansipasi wanita pada masa hidupnya.
Untuk mengenang sosoknya sebagai pahlawan emansipasi, didirikanlah Sekolah Kartini di berbagai daerah, seperti di Semarang, Malang, Yogyakarta, Madiun, dan Cirebon. Surat-surat yang Kartini kirimkan pada para sahabat penanya di Belanda dikumpulkan dan dibuat menjadi buku berjudul Habis Gelap Terbitlah Terang.
Masyarakat Indonesia, besok, 21 April 2024, memperingati Hari Kartini. Berkat Kartini, perempuan bukan lagi sosok yang hanya berdiam di rumah, mengurus suami dan anak.
Perempuan Indonesia bisa menjadi apa pun dan berkontribusi bagi kemajuan bangsa. Kartini adalah pejuang emansipasi kaum perempuan. Jasanya membuat para perempuan Indonesia kini bisa mengenyam pendidikan setinggi-tingginya, berpartisipasi dalam kursi pemerintahan, atau bekerja dengan profesi tinggi dan kedudukannya setara dengan laki-laki. Untuk menghormati dan mengingat perjuangan serta jasa Kartini, pemerintah kemudian menetapkan Hari Kartini setiap 21 April.
Hari Kartini mulai diselenggarakan sejak ditetapkan pada masa pemerintahan Presiden pertama Indonesia, Ir Soekarno lewat Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 108 Tahun 1964, tanggal 2 Mei 1964. Keputusan tersebut bersamaan dengan ditetapkannya Kartini sebagai Pahlawan Kemerdekaan Indonesia. Selain itu, pemilihan 21 April sebagai Hari Kartini juga karena tanggal tersebut adalah hari kelahiran Kartini, yang jatuh pada 21 April 1879.
Dikutip dari jurnal “R.A Kartini: Emansipator Indonesia Awal Abad 20”, Raden Ajeng Kartini atau bernama asli Raden Ayu Kartini merupakan anak pasangan RMAA Sosroningrat dan M.A Ngasirah. Ayahnya merupakan Bupati Jepara, seorang priyayi dan aristokrat.
Sosroningrat dikenal sebagai bupati yang intelek dan pandai berbahasa Belanda. Kemampuan bahasa Belanda itu kemudian menurun pada Kartini.
Dia belajar secara otodidak dan mulai menulis surat dengan sahabat pena yang berasal dari Belanda. Kartini juga gemar membaca. Salah satu buku bacaannya adalah buku berbahasa Belanda, seperti De Stille Kraacht karya Louis Coperus dan Die Waffen Nieder karya Berta von Suttner.
Bacaan-bacaan itulah yang menumbuhkan pemikiran ala perempuan Eropa yang maju pada diri Kartini. Sementara di Indonesia, pada saat itu, status sosial perempuan masih dipandang rendah.
Sayangnya, Kartini sama seperti perempuan pribumi yang malang tersebut. Setelah lulus dari Europeesche Lagere School, Kartini memiliki keinginan untuk melanjutkan pendidikan tinggi.
Namun keinginan itu sirna setelah orang tuanya menentang. Kartini lalu dipingit selama bertahun-tahun dan baru benar-benar diperbolehkan keluar pada 1898.
Awal perjuangan Kartini dimulai saat dia mendirikan sekolah khusus putri di Jepara. Di sekolah tersebut, mereka diajarkan cara menjahit, menyulam, dan memasak.
Kartini juga kerap menuliskan surat untuk temannya di Belanda bernama Rosa Abendanon, yang berisikan keinginannya untuk menaikkan derajat wanita Indonesia.
Kartini bahkan bercita-cita untuk menjadi seorang guru, meski keinginan tersebut tak pernah terwujud karena dia harus menikah dengan Raden Adipati Joyodiningrat, seorang Bupati Rembang.
Suami Kartini sangat mendukung cita-citanya. Kartini diizinkan membangun sebuah sekolah khusus putri di Rembang (sekarang jadi Gedung Pramuka).
Sebelum Kartini sempat melihat buah dari perjuangannya, dia mengembuskan napas terakhir setelah melahirkan putranya bernama Soesalit Djojoadhiningrat pada 13 September 1904.
Kartini meninggal empat hari setelah melahirkan, tepatnya pada 17 September 1904. Jasad Kartini dimakamkan di Desa Bulu, Kecamatan Bulu, Rembang. Untuk mengenang sosoknya sebagai pahlawan emansipasi, didirikanlah Sekolah Kartini di berbagai daerah, seperti di Semarang, Malang, Yogyakarta, Madiun, dan Cirebon.
Surat-surat yang Kartini kirimkan pada para sahabat penanya di Belanda dikumpulkan dan dibuat menjadi buku berjudul Habis Gelap Terbitlah Terang.
Tujuan Peringatan Hari Kartini
Adapun tujuan ditetapkannya tanggal 21 April sebagai peringatan Hari Kartini adalah untuk menghormati perjuangan RA Kartini dalam mewujudkan kesetaraan gender antara laki-laki dan perempuan pada masa kolonial di bidang pendidikan.
Atas jasa-jasanya menjunjung emansipasi wanita, hingga kini kesetaraan gender telah diterapkan dalam masyarakat Indonesia di berbagai bidang. Buah pikir Kartini banyak dipengaruhi oleh lingkungan sosialnya. Kartini menjadikan pendidikan sebagai alat untuk memajukan bangsa.
Sri Mulyani sebagai salah satu tokoh perempuan Indonesia memberi pesan khusus untuk Para Perempuan Indonesia dengan menggarisbawahi bahwa menurut Kartini, pengetahuan yang diperoleh dari seseorang merupakan cara untuk mencapai kebahagiaan bagi individu atau sekelompok orang.
Selain itu, emansipasi wanita yang digencarkan Kartini bermakna untuk mewujudkan kesetaraan gender di masyarakat. Dengan diperingatinya jasa Kartini pejuang emansipasi wanita, diharapkan dapat mengingatkan seluruh lapisan masyarakat Indonesia untuk terus konsisten mencegah diskriminasi gender.
Setiap tanggal 21 April menjadi peringatan Hari Kartini, sebagai salah satu momentum berharga bagi perempuan di Indonesia. Peringatan ini untuk mengenang pahlawan wanita yakni Kartini yang sangat berjasa bagi kaum perempuan.
Setiap peringatannya, selalu dimeriahkan dengan berbagai kegiatan yang menjunjung tinggi peran perempuan Indonesia sepanjang zaman. Jasa yang diberikan oleh Kartini membawa dampak besar bagi pergerakan dan pandangan semua masyarakat, bahwa perempuan tidak bisa dipandang sebelah mata. Gerakan emansipasi yang dibawa oleh Kartini ini membuat banyak perubahan besar terhadap kemajuan bangsa Indonesia.
Dengan memperingati Hari lahir Ibu RA Kartini, diharapkan seluruh lapisan masyarakat dengan berbagai aspek, khususnya kaum perempuan/para Ibu, dapat meningkatkan kualitas hidupnya dan mengembangkan segala potensi dan kemampuan yang dimilikinya serta tumbuhnya kesetaraan gender.
Jargon “Kesetaraan Gender” sering digemakan oleh para aktivis sosial, kaum perempuan hingga para politikus Indonesia. Kesadaran kaum perempuan akan kesetaraan gender semakin meningkat seraya mereka terus menuntut hak yang sama dengan laki-laki, dimana Kesetaraan gender merupakan salah satu hak asasi kita sebagai manusia.
Hak untuk hidup secara terhormat, bebas dari rasa ketakutan dan bebas menentukan pilihan hidup tidak hanya diperuntukan bagi para laki-laki, perempuan pun mempunyai hak yang sama pada hakikatnya.
Sayangnya sampai saat ini, perempuan seringkali dianggap lemah dan hanya menjadi sosok pelengkap. Terlebih lagi adanya pola berpikir bahwa peran perempuan hanya sebatas bekerja di dapur, sumur, mengurus keluarga dan anak, sehingga pada akhirnya hal di luar itu menjadi tidak penting.
Sosok perempuan yang berprestasi dan bisa menyeimbangkan antara keluarga dan karir menjadi sangat langka ditemukan. Perempuan seringkali takut untuk berkarir karena tuntutan perannya sebagai ibu rumah tangga.
Berdasarkan data yang ada pada Badan Pusat Statistik (BPS) - Survey Demografi dan Kesehatan, menunjukkan bahwa perempuan secara konsisten berada pada posisi yang lebih dirugikan daripada laki-laki.
Berikut adalah isu-isu utama/ sejumlah contoh kesenjangan gender di berbagai sektor yang masih perlu diatasi :
1. Pola Pernikahan yang merugikan pihak perempuan
• Indonesia masih dihadapkan pada segudang masalah perkawinan usia anak. Hingga saat ini ratusan ribu anak-anak di bawah usia 18 tahun telah melangsungkan perkawinannya dengan berbagai alasan. Salah satu penyebab adalah persoalan ekonomi keluarga.
Berdasarkan data BPS selama satu dekade terakhir, angka perkawinan di bawah umur terus terjadi. Setiap tahun terjadi perkawinan usia anak di Indonesia sekitar 10,5 persen.
Provinsi dengan angka perkawinan usia anak tertinggi pada tahun lalu adalah Nusa Tenggara Barat yang sebesar 17,32 persen, kemudian disusul Sumatera Selatan 11,41 persen, dan Kalimantan Barat 11,29 persen.
Berdasarkan data Unicef 2023, peringkat Indonesia menempati urutan ke-4 di dunia dengan estimasi jumlah anak perempuan yang dinikahkan mencapai 25,53 juta jiwa. Angka tersebut sekaligus menobatkan Indonesia sebagai negara di kawasan ASEAN yang memiliki kasus perkawinan anak terbesar.
• Hukum perkawinan di Indonesia menganggap pria sebagai kepala rumah tangga dan pencari nafkah keluarga. Sedangkan, tugas-tugas rumah tangga termasuk membesarkan anak umumnya dilakukan oleh perempuan.
2. Kesenjangan Gender di pasar kerja
• Adanya segmentasi jenis kelamin angkatan kerja, praktik penerimaan dan promosi karyawan yang bersifat deskriminatif atas dasar gender membuat perempuan terkonsentrasi dalam sejumlah kecil sektor perekonomian, umumnya pada pekerjaan-pekerjaan berstatus lebih rendah daripada laki-laki.
• Asumsi masyarakat yang menyatakan bahwa pekerjaan perempuan hanya sekedar tambahan peran dan tambahan penghasilan keluarga juga menjadi salah satu sebab rendahnya tingkat partisipasi tenaga kerja perempuan.
Menyikapi asumsi tersebut di atas, perlu Penulis kemukakan bahwa betdasarkan Laporan riset McKinsey pada tahuan 2015, menyimpulkan bahwa perusahaan yang mendukung kesetaraan gender memiliki kinerja 15% lebih tinggi dari. Sementara pada bulan Juli tahun 2017, Pollling Survay McKinsey mencatat lebih dari separuh (58%) pria yang mengikuti survay menganggap tidak ada lagi hambatan bagi wanita untuk berkarier di dunia kerja.
Berdasarkan Survey Kepemimpinan di Amerika, Pew Research Center 2018, diperoleh fakta sebagai berikut :
Dari Tabel di atas terlihat dengan jelas bahwa keberadaan “sosok” wanita dalam tubuh perusahaan yang memiliki kesetaraan gender dan memberikan kesempatan yang sama kepada wanita untuk duduk di kursi Pimpinan, faktanya ternyata banyak memberikan nuansa yang menguntungkan bagi tubuh perusahaan.
3. Kekerasan Fisik
• Indonesia telah menetapkan berbagai undang-undang untuk melindungi perempuan dari kekerasan fisik. Akan tetapi, terdapat beberapa bukti yang menunjukkan bahwa kekerasan terhadap perempuan adalah umum di Indonesia.
Menurut survey Demografi dan Kesehatan 2003 dari Badan Pusat Statistik Indonesia, hampir 25% perempuan yang pernah menikah merasakan bahwa suami seolah-olah dibenarkan melakukan kekerasan fisik dengan memukul istrinya karena salah satu alasan berikut: istri berbeda pendapat, istri pergi tanpa memberitahu, istri mengabaikan anak, atau istri menolak untuk melakukan hubungan intim dengan suami.
• Perdagangan perempuan dan prostitusi juga merupakan ancaman serius bagi perempuan Indonesia, terutama mereka yang miskin dan kurang berpendidikan.
Meskipun pelecehan seksual dianggap kejahatan, akan tetapi hal itu umum ditemukan dalam kehidupan sehari-hari. Departemen Kesehatan Indonesia tahun 2004 menemukan bahwa 90% perempuan mengaku telah mengalami beberapa bentuk pelecehan seksual di tempat kerja.
Menyikapi kedua hal tersebut di atas, Penulis berpendapat bahwa meskipun Hari Kartini sudah 60 tahun dirayakan oleh seluruh lapisan masyarakat di negeri kita tercinta, baik dirayakan oleh kalangan masyarakat di tingkat RT, Kelurahan, Kecamatan maupun instansi Pemerintah dan BUMN/BUMD serta di kalangan swasta, namun tingkat kekerasan terhadap para kaum perempuan di negara kita masih cukup tinggi.
Berdasarkan data yang bersumber dari Badan Pusat Statistik, pada tahun 2017 terdapat 348.446 kasus kekerasan terhadap perempuan dan kemudian dari 348.446 kasus kekerasan tersebut, 335.062 kasus kekerasan terhadap isteri berujung pada perceraian dan hingga saat ini di tahun 2024, data kasus kekerasan terhadap perempuan dan anak tidak mengalami penurunan. Sungguh merupakan suatu hal yang sangat memprihatinkan bagi kaum perempuan Indonesia.
4. Hak Kepemilikan
Hukum Perdata di Indonesia menetapkan bahwa laki-laki dan perempuan memiliki hak kepemilikan yang sama. Perempuan di Indonesia memiliki hak hukum untuk akses ke properti, tanah dan memiliki akses ke pinjaman bank dan kredit,
meskipun terkadang masih terdapat diskriminasi di beberapa bagian contohnya: suami berhak untuk memiliki Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP) pribadi, sedangkan istri harus dimasukkan nomor pajak mereka dalam catatan suami.
Penulis beranggapan bahwa begitu besar pengaruh konservatisme dalam berbagai produk perundang-undangan yang masih menafikan hak-hak sipil kaum perempuan. Hukum perpajakan dan warisan misalnya dinilai masih mendeskriminasi perempuan Selain itu produk legislasi yang melindungi perempuan dari pelecehan seksual dan kekerasan domestik masih lemah untuk ditegakkan.
Catatan Akhir Tahun dari Komisi Nasional Anti kekerasan Terhadap Peremnpuan Tahun 2022, mencatat bahwa terbitnya 20 kebijakan yang memuat diskriminasi baik secara langsung maupun tidak langsung terhadap perempuan.
Kebijakan diskriminatif masih menggunakan pola pengaturan yang sama, yaitu potensi kriminalisasi, kontrol terhadap tubuh perempuan melalui pembatasan hak berekspresi dan berkeyakinan, serta pembatasan kehidupan beragama yang berdampak pada pembatasan dan atau pembedaan atas dasar agama.
Saat ini PBB telah memiliki Indeks Kesenjangan Gender (GII) yang setiap tahun dirilis Badan Program Pembangunan PBB (UNDP).
Indeks tersebut menggunakan tiga indikator, yakni kesehatan reproduktif yang diukur berdasarkan tingkat harapan hidup ibu dan angka kelahiran, pemberdayaan yang mengacu pada keterwakilan perempuan di parlemen dan politik,
serta terakhir status ekonomi yang dihitung berdasarkan partisipasi perempuan pada pasar tenaga kerja Dalam Indeks Kesetaraan Gender yang dirilis Equal Measures, Indonesia mendapat hasil beragam di berbagai indikator yang dijadikan acuan.
Indonesia misalnya dipuji lantaran mencatat tingkat melek aksara yang termasuk paling tinggi di Asia (Perempuan 93,59% dan Laki-laki 97,17%).
Selain itu kebijakan Jamainan Kesehatan Nasional yang mencakup 3/4 populasi dan tercatat sebagai salah satu program kesehatan nasional terbesar di dunia, berhasil mengurangi angka kematian ibu.
Namun sebagaimana Penulis kemukakan di atas, begitu besar pengaruh konservatisme dalam berbagai produk perundang-undangan yang masih berbau steorotif gender.
Menurut survei Women's Health and Life Experiences pada 2016 silam, satu dari tiga perempuan Indonesia yang berusia 15-64 tahun mengaku pernah mengalami kekerasan fisik dan seksual.
Perempuan juga masih menghadapi rintangan hukum dan diskriminasi di lapangan kerja. Dengan angka sebesar 51% pada 2017 silam, keterlibatan perempuan Indonesia di pasar tenaga kerja masih jauh di bawah rata-rata pria sebesar 80%.
Guna meningkatkan kesadaran perempuan akan isu kesetaraan gender ini dan untuk mengedukasi para perempuan di negara kita tercinta, sudah selayaknya kita meningkatkan “Gender Equality”, perempuan diharapkan dapat lebih terpacu untuk membela hak mereka dalam kesempatan kerja/karir, hak maternal dan keseimbangan antara keluarga dan karir,
dimana kesetaraan gender tidak harus dipandang sebagai hak dan kewajiban yang sama persis tanpa pertimbangan selanjutnya karena pada dasarnya Perempuan Indonesia masa kini adalah perempuan yang sadar hukum dan memahami prinsip kesetaraan gender yang mendasari adanya pembagian tugas,
peran dan tanggung jawab yang seimbang antar perempuan dan laki-laki mulai dari lingkup keluarga, mesyarakat bahkan dalam kehidupan berbangsa dan bernegara yang menjadi “partnership” bagi kaum laki-laki sekaligus sebagai sumber daya insani
yang menentukan keberhasilan Pembanguanan Nasional dan sesuai dengan tema Perigatan Hari Kartini Tahun 2024, Perempuan Bangkit Indonesia Maju, begitu pun harapan saya selaku Penulis.
Selamat memperingati hari lahir R.A. Kartini, Semoga kesetaraan gender di seluruh tanah air tercinta, Indonesia, dapat terwujud.
*) Dr. Mia Amiati, SH, MH, CMA adalah praktisi hukum