Oleh:
Anis Tiana pottag, S.H., M.H., M.Kn., M.M
CEO & Founder of PT TOP Legal Group
CEO & Founder of PT TOP Legal Group Anis Tiana Pottag, S.H., M.H., M.Kn., M.M mengatakan, masyarakat harus mendapatkan kepastian hukum mengenai produk yang wajib memiliki sertifikat halal. Menurut Anins, hal ini bertujuan untuk mewujudkan tertib administrasi dalam penyelenggaraan jaminan produk halal.
Lebih detail bisa menghubungi kantor legal TOP Legal Corner di Northwest Boulevard NV No.2 / 11, Citraland, Pakal, Surabaya, East Java 60197, Surabaya. Juga bisa klik di www.toplegal.id.
Dalam Keputusan Menteri Agama Republik Indonesia Nomor 748 tahun 2021 tentang Jenis Produk Yang Wajib Bersertifikat Halal pada diktum kedua berbunyi “jenis produk sebagaimana dimaksud dalam diktum kesatu diklasifikasikan berdasarkan ciri tertentu dari setiap jenis produk berdasarkan komposisi bahan penyusunannya dan/atau proses produksinya meliputi:
a) makanan; b) minuman; c) obat; d) kosmetik; e) produk kimiawi; f) produk biologi; g) produk rekayasa genetik; h) barang gunaan; i) jasa penyembelihan; j) jasa pengolahan; k) jasa penyimpanan; l) jasa pengemasan; m) jasa pendistribusian; n) jasa penjualan; o) jasa penyajian.”
Berdasarkan Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2014 tentang Jaminan Produk Halal (UU Jaminan Produk Halal), pemerintah mempunyai tanggungjawab dalam menyelenggarakan jaminan produk halal, sehingga dapat memberikan kenyamanan, keamanan, serta kepastian adanya produk halal bagi masyarakat.
Jaminan Produk Halal, telah mengatur bahwa Pelaku Usaha memiliki kewajiban untuk beritikad baik dalam melakukan usahanya dan memberikan informasi yang benar, jelas, dan jujur mengenai kondisi dan jaminan barang serta memberi penjelasan penggunaan, perbaikan, dan pemeliharaan serta tidak memperdagangkan barang yang tidak mengikuti ketentuan berproduksi secara halal merupakan bentuk dariperlindungan konsumen.
Kewajiban memiliki sertifikat halal berlaku tidak hanya untuk industri besar, tapi juga untuk usaha mikro, kecil, dan menengah. Perubahan dari Undang-Undang Jaminan Produk Halal Nomor 33 Tahun 2014 ke Undang-Undang 6 Tahun 2023 tentang Penetapan Peraturan
Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2022 tentang Cipta Kerja menjadi Undang-Undang (UU Cipta Kerja) mencakup aturan baru yang mengharuskan usaha mikro dan kecil mendapatkan sertifikat halal untuk produk yang mereka olah.
Untuk menampilkan label halal pada produk, diperlukan sertifikasi yang mengkonfirmasi kehalalan produk tersebut. Sesuai dengan Undang-Undang Jaminan Produk Halal, biaya sertifikasi ditanggung oleh pelaku usaha, namun usaha mikro dan kecil bisa mendapatkan fasilitasi pembiayaan dari pemerintah atau lembaga terkait.
Undang-Undang Cipta Kerja juga memberikan kelonggaran terhadap biaya sertifikasi halal untuk usaha mikro dan kecil agar tidak lagi menjadi kendala, karena Pasal 44 dari Jaminan Produk Halal telah diubah sehingga pelaku usaha mikro dan kecil dibebaskan dari biaya
sertifikasi halal. Namun, masih ada persyaratan tertentu yang harus dipenuhi oleh usaha mikro dan kecil, seperti ketentuan kebersihan dan pemisahan lokasi produksi yang diatur dalam Pasal 21 dan 22. Ini mencakup kebersihan lokasi, tempat, dan alat produksi, yang harus terbebas dari najis dan barang haram.
Mengingat banyak usaha mikro dan kecil beroperasi dari rumah, pemisahan lokasi dan alat produksi menjadi tantangan.