Sekeluar Ruang Praktik, Dokter Meminta Aris Kuburkan Bungkusan
Oleh: Yuli Setyo Budi, Surabaya
Pemikiran Aris berseberangan dengan Risa. Perempuan ini dengan ikhlas bisa menerima kehamilannya. Dia bahkan sempat berharap anak yang dikandungnya ini berjenis kelamin laki-laki. Berbeda dari ketiga kakaknya yang perempuan semua.
Pemikiran yang berbeda antara Aris dan Risa menimbulkan ketegangan. Mereka sempat beberapa hari menutup jalur komunikasi. Pada saat itulah, merasa sebagai kepala rumah tangga, Aris menggunakan hak veto: perintahnya harus dijalankan!
Risa tidak berdaya.
Esoknya, kehendak Aris direalisasikan. Kehamilan Risa harus digugurkan. Mereka lantas mendatangi dokter. Dokter mempersilakan Risa masuk ruang praktik. Cukup lama. Hampir sejam. Saat keluar, Risa dipapah dokter yang membawa bungkusan plastik. “Ini dikubur ya Pak,” kata dokter kepada Aris sambil menyerahkan bungkusan.
Sesampai rumah, bungkusan dari dokter tadi lantas dikubur di halaman belakang rumah. Malam-malam. “Waktu itu hati ini merasa lega, Pak Yuli. Sungguh. Tak tahunya…” Aris kembali menangis. Semula-mula lirih tapi semakin lama semakin keras.
Memorandum yang takut tangis Aris mengganggu majelis lantas mengajak pria berkumis tipis ini keluar ruang utama masjid. Bergeser ke teras samping dekat toilet.
Lama Aris tenggelam dalam tangis. Memorandum sengaja membiarkan. Memberi kesempatan Aris menghabiskan sisa air matanya. Biar hatinya lega. Biar kembali blong.
“Aku dosa besar, Pak Yuli. Aku orang syirik, dan tega-teganya memaksa istri ikut syirik,” tuturnya lirih tanpa mengubah posisi kepalanya yang masih disimpan di antara kedua tekukan kaki.
Tanpa kami sadari, ternyata Risa sudah berdiri di dekat kami. Rupanya majelis taklim sudah selesai. Ruang utama masjid sudah sepi. Baik dari jemaah perempuan maupun jemaah laki-laki.
Risa kemudian jongkok di sebelah Aris dan merangkul pundaknya. “Mengapa Bapak menangis?” tanya Risa. Aris menoleh dan segera memeluk Risa.
“Maafkan aku, Buk. Aku telah menjerumuskan Ibuk ke jurang kemusyrikan,” kata Aris sambil mempererat pelukan. Memorandum serasa melihat potongan sinetron di televisi.
“Lho, siapa yang musyrik?” tanya Risa ringan. Tanpa beban.
“Maafkan aku telah memaksa Ibuk menggugurkan kandungan Ibuk. Membunuh bayi kita,” kata Aris. Kembali tangisnya pecah.
“Siapa yang menggugurkan kandungan? Bungkusan yang Bapak tanam di halaman belakang rumah itu tah? Bapak mengira itu jainin bayi kita?” Aris tercengang. Diam sejuta bahasa.
“Itu sampah. Bungkusan sisa sarapan kami. Sarapanku dan Bu Dokter.” (habis)