Dimodali untuk Buka Usaha di Rumah
Spontan Ahmad berdiri masuk rumah. Langkahnya agak terseok. Sekitar lima-enam menit kemudian keluar lagi. Di tangannya ada nampan berisi dua cangkir kopi.
“Istrinya mana?” desak Memorandum.
“Tidak ada.”
“Tidak ada?”
Ahmad mempersilakan Memorandum meminum kopi, seperti tidak menghiraukan pertanyaan tadi. Dia bahkan menceritakan hal lain.
Menurutnya, keesokan hari setelah kami ngopi di Tono, Momon datang ke rumah.
“Mas Momon memenuhi permintaan Mas Ahmad untuk menikahi istri Mas setelah cerai?” tanya Memorandum penasaran.
“Ia membawa amplop cokelat besar. Berisi uang. Katanya, uang ini bisa dijadikan modal untuk usaha.”
“Dia bersedia menikahi istri Mas Ahmad?”
“Momon lantas minta dipanggilkan Wati.”
“Lalu?”
Ahmad mengaku deg-degan ketika Momon minta dipanggilkan Wati. Ia menduga Momon bakal memenuhi permintaannya.
“Saat itu mendadak dadaku terasa nyeri. Panas. Ada penyesalan telah menawarkan Wati untuk dinikahi Momon,” kata Ahmad.
Dengan berat hati Ahmad memanggil Wati. Dia kemudian duduk di sampingnya. Penyesalan Ahmad semakin kuat. Tak hanya nyeri dan panas, dadanya terasa sesak. Dipandangnya Momon dan Wati secara bergantian.
“Aku ikhlas,” kata Ahmad sambil menunduk.
“Aku juga ikhlas memberikan uang ini untuk Mas Ahmad dan Mbak Wati. Silakan dipakai untuk memulai usaha,” kata Momon waktu itu seperti ditirukan Ahmad.