Oleh: Arief Sosiawan
Pemimpin Redaksi
Pemilihan serentak wali kota (pilwali) dan bupati (pilbup) tahun ini masih September. Walau begitu, gaung atau gemanya sudah mulai memanas. Terbukti di sana-sini muncul gambar-gambar calon atau sosok yang dipaksa jadi calon.
Calon-calon tadi, baik calon wali kota, calon wakil wali kota, atau calon bupati dan wakil bupati, “dibungkus” dalam baliho, spanduk, banner, dan media lain seperti media sosial. Tujuannya memengaruhi pikiran dan pilihan masyarakat pemilih.
Langkah-langkah politis partai politik pun makin marak terdengar. Otomatis fakta ini menaikkan suhu politik, dari adem menjadi hangat. Bahkan memanas. Ditambah, langkah-langkah taktis dari pemain politik yang menyebut diri sebagai pemain independen, kian menambah panas percaturan politik kelas pilwali atau pilbup.
Yang terjadi di Kota Surabaya, misalnya. Di sudut-sudut kota terpampang jelas beberapa gambar mereka. Meski belum berani menyebut diri sebagai calon wali kota (karena belum ada rekomendasi dan pendaftaran resmi), masyarakat sudah mafhum mereka itu mengincar jabatan wali kota.
Bukan hanya satu orang yang melakukan itu. Ada beberapa. Tersirat atau tersurat, pastilah mereka bakal bersaing mengambil simpati dalam pilwali Kota Surabaya.
Ada yang menawarkan program bagi-bagi anggaran pendapatan dan belanja daerah (APBD) ke setiap rukun tetangga (RT) dan rukun warga (RW). Ada juga yang tidak, tapi menawarkan impian Surabaya lebih maju.
Mereka yang lain menawarkan kemajuan kota lewat program-program melanjutkan kebijakan pemerintah sebelumnya. Tentu semua memiliki sisi baik dan sisi buruk. Ada nilai baru, ada nilai lama. Dan, ada pilihan baru pastinya.
Lalu, apakah mereka serius ingin melakukan demi kemajuan kota yang kini berstatus tidak ada calon petahana hingga bakal terjadi “pertarungan bebas”? Atau hanya mengincar jabatan wali kota karena gengsi? Atau, jangan-jangan mereka hanya ingin menumpang tenar sekaligus minta disebut sebagai calon wali kota dan calon wakil wali kota dalam catatan sejarah.
Atau lagi, mereka yang berani menampangkan wajah dengan menebar banyak baliho dan spanduk karena tahu bahwa APBD Kota Surabara mencapai Rp 10,3 triliun. Angka itu memang menggiurkan!
Menjawab berbagai pertanyaan itu, satu hal yang harus mereka tempuh terlebih dulu adalah tiket (dalam bentuk rekomendasi) untuk menjadi calon yang didaftarkan ke Komisi Pemilihan Umum (KPU).
Pasti hal ini tidak gampang. Mereka harus bisa menaklukkan hati pimpinan partai. Tentunya tidak dengan tangan kosong. Ada nilai rupiah yang harus dibayar. Minimal dana untuk kebutuhan cost politic. Dan, nilainya pasti bisa mencapai ratusan miliar rupiah.
Begitu pula dengan sosok yang nyalon dari jalur independen, wajib hukumnya terlebih dulu menaklukkan hati masyarakat. Ini juga perlu biaya yang besar. Ratusan miliar rupiah.
Lantas, apakah mereka memiliki kekayaan besar untuk biaya politik mereka, mengingat masyarakat tahu asal usul mereka? Kalau benar mereka memiliki kekayaan cukup buat mencalonkan diri sebagai wali kota atau wakil wali kota, wajib bagi penegak hukum menelisik dulu kekayaan mereka. Dari mana asal usul kekayaan mereka.
Kalau tidak, masyarakat tentu boleh menilai mereka hanya mencari peruntungan nasib dengan kalkulasi kalau menang akan berusaha keras dan bekerja keras mengembalikan kekayaannya terlebih dahulu. (*)