“Anak-anak beli susu dari mana? Kan yang paling besar itu kebutuhan untuk beli susu. Ingat bisnis kita sedang kolaps. Bantu saya ya, sementara saya sedang membenahi bisnis kita, kamu cari uang dari cara lain ya sayang,” katanya lagi.
Ada benarnya sih, barangkali memang aku harus membantu suami. Tapi entah kenapa, aku merasa seperti ada yang janggal. Kenapa bukan dia saja yang mencari kerja di luar? Kenapa tidak dia saja yang menggunakan ijazah kuliahnya untuk melamar pekerjaan? Kurasa banyak perusahaan yang bersedia menerimanya dengan ijazah itu.
Aku ingat sekali saat aku menghadiri job expo, temanku menaruh berkas di sebuah booth milik perusahaan telekomunikasi. Dia ditanya IPK oleh mbak-mbak yang menjaga booth itu, apakah IPK-nya di atas 3,3? Sayang IPK temanku 3,25. Dia langsung ditolak begitu saja oleh perusahaan itu. Lalu datanglah seseorang yang melamar ke perusahaan itu juga. Mungkin karena dia melihat temanku ditolak karena IPK-nya kurang dari 3,3 dia bertanya terlebih dulu karena IPK-nya tidak memenuhi syarat. (bersambung)