Hatinya Berdarah seperti Disayat 1.001 Pedang Berkarat
Oleh: Yuli Setyo Budi, Surabaya
Peristiwa itu sangat melukai hati Hendri. Meski bukan orang tua sendiri, Hendri sudah menganggap kedua mertuanya sebagai bapak-ibu kandung. Hendri segera menengahi perseteruan Risa dan kedua orang tuanya. Tapi, apa hasilnya?
Sebuah asbak kaca dilemparkan Risa dan nyaris mengenai wajah Hendri. Kedua anak Hendri yang berdiri ngowoh di sudut ruangan segera digelandang keluar rumah, lantas diajak pulang.
Risa mencoba menghalangi upaya Hendri dengan nyaut tangan anak sulungnya, tapi dapat dielakkan anak tersebut. Sejak itu Hendri tidak lagi membawa anak-anaknya ke rumah kakek-nenek mereka. Hanya pada waktu-waktu tertentu kedua anak tadi diajak ke rumah kakek-nenek mereka.
Risa sudah tidak lagi pulang ke rumah untuk menengok anak-anak. Juga ke rumah orang tuanya. Hendri tak peduli. “Aku hanya kebingunan ketika ditanya anak-anak ke mana mama pergi.”
Mendengar kejadian tersebut orang tua Hendri pun meradang. Mereka bahkan terang-terangan meminta Hendri menceraikan Risa. Tapi, Hendri masih ragu. Dia berharap istrinya bisa berubah seperti semula dan meneruskan membina rumah tangga. Alasan Hendri masuk akal: kasihan anak-anak.
Keraguan Hendri goyah ketika dia dan anak-anaknya memergoki Risa bersama seorang lelaki berjalan keluar dari sebuah hotel di kawasan Diponegoro. Waktu itu Hendri pulang dari menjemput anak bungsunya dari sekolah.
Sebenarnya Hendri tidak tahu. Dia baru ngeh setelah punggungnya dicolek si anak, “Pa, ada Mama jalan-jalan sama temannya.” Hendri menolah ke arah telunjuk anak bungsunya dan melihat Risa digandeng mesra seorang lelaki.
“Itu bukan mamamu. Hanya mirip. Ayo kita pulang. Siapa tahu Mama sudah di rumah.” Kalimat tersebut diungkapkan Hendri dengan hati berdarah. Seperti disayat seribu satu pedang berkarat.
Dia sadar memberikan harapan palsu kepada anak bukan perbuatan mendidik, tapi mana mungkin Hendri berterus terang menjelaskan bahwa ibunya berbuat serong dengan lelaki lain.
Hendri hanya berharap semoga anak-anaknya mampu bersabar apabila kelak tahu dan menyadari bahwa ibu mereka bukanlah ibu yang baik. Bukan ibu idaman yang bisa diteladani.
Sayang, harapan Hendri mungkin tak akan tercapai. Pemandangan tadi tampaknya membekas begitu mendalam di dada si bungsu. Buktinya, ketika ayah dan ibu Hendri nyambangi cucu-cucu mereka, si bungsu sempat bercerita kepada mereka.
Si bungsu berkata kepada kakek, “Papa sudah tidak mengenali Mama. Kami ketemu di jalan tapi Papa nggak mau memanggil Mama. Kata Papa, mereka hanya mirip. Aku yakin itu Mama.”
Lelaki sepuh itu lantas mengonfirmaskan cerita tadi kepada anaknya. Hendri tidak segera menjawab. Air matanya menetes, tapi terburu dia usap. Walau begitu sang ayah sempat melihat. (bersambung)