Lamongan, memorandum.co.id - Menjelang puncak acara Peringatan Hari Jadi Lamongan (HJL) yang ke 453 tahun, Bupati Lamongan Yuhronur Efendi didampingi Wakil Bupati Lamongan Abdul Rouf dan jajaran Forkopimda Kabupaten Lamongan, Rabu (25/5) melaksanakan ziarah leluhur di makam Mbah Sabilan, Mbah Punuk, dan Mbah Lamong di Kelurahan Tumenggungan Kecamatan Lamongan.
Berdasarkan kisah sejarah yang ada, penentuan hari jadi Lamongan ini berbeda dengan daerah-daerah kabupaten lain, khususnya di Jawa Timur. Dimana kebanyakan daerah mengambil sumber penentuan dari prasasti atau candid an peninggalan sejarah lainnya, tetapi hari lahir Lamongan mengambil sumber dari buku wasiat Sunan Giri yang ditulis tangan dalam huruf jawa kuno dan disimpan oleh juru kunci makam giri di Gresik.
Dalam buku wasiat tersebut ditulis bahwa diwisudanya Tumenggung Surajaya menjadi Adipati Lamongan dilakukan dalam pasamuan agung di tahun 976 H. Berdasarkan tahun tersebut, kemudian dilakukan penelusuran dan ditemukan bahwa wisuda tersebut terjadi pada Hari Kamis Pahing tanggal 10 Dzulhijjah 976 H atau bertepatan dengan 26 Mei 1569 M.
Hadi atau Mbah Lamong atau juga disebut Tumenggung Surajaya ini merupakan santri Kesultanan Giri yang terampil, cakap, dan menguasai ajaran agama Islam serta seluk beluk pemerintahan, yang oleh Sunan Griri ditunjuk menyebarkan ajaran agama, mengatur pemerintahan, dan kehidupan masyarakat di Kawasan Kenduruan.
Ringkas sejarah, usaha Hadi berjalan lancar dan mudah. Karena keberhasilannya beliau mendapat julukan Lamong yang artinya among (ngemong) yang baik atau pengayom warga, dan dinobatkan sebagai Adipati pertama dengan gelar Tumenggung Surajaya. Sunan Giri IV atau Sunan Prapen juga mengumumkan wilayah Kranggan Lamongan menjadi Kadipaten Lamongan.
Tidak hanya Mbah Lamong, Mbah Punuk dan Mbah Sabilan juga merupakan tokoh penting dalam sejarah Lamongan. Mbah Sabilan yang hingga saat ini belum diketahui nama aslinya juga merupakan tokoh yang erat kaitannya dengan tradisi calon pengantin perempuan yang melamar calon pengantin laki-laki di Lamongan. Mbah Sabila merupakan seorang patih/panglima perang dari adipati ke-3 Lamongan Raden Panji Puspa Kusuma ayah dari Raden Panji Laras dan Panji Liris sekitar tahun 1640-1665. Beliau diberi nama Mbah Sabilan karena meninggal sebagai sabilillah di medan perang.
“Melalui napak tilas ini, diharapkan dapat menambah semangat dan spirit untuk menjadikan Lamongan sebagai wilayah yang berjaya, yang dapat mempertahankan budaya, adat-istiadat, kegotong-royongan, dan kebersamaan. Dalam kesempatan ini kita dapat merefleksikan dan sebuah spirit untuk memajukan Kabupaten Lamongan,” terang Pak Yes.
Pak Yes juga menambahkan bahwa tidak akan ada kejayaan tanpa perjuangan. Perjuangan tersebut menurut beliau harus terus dijadikan sebuah komitmen untuk bersama berkolaborasi menjadikan Lamongan yang jaya, senagaimana tema HJL ke 453 yakni kolaborasi mewujudkan pembangunan inklusif.
“Kolaborasi yang dimaksud adalah kita semuanya bergandeng tangan, seluruh elemen masyarakat, siapa pun mempunyai kewajiban yang sama untuk memajukan wilayah Kabupaten Lamongan yang inklusif, yang terbuka, saling menghargai,” tambahnya.(*/gus)