Disuguhkan kepada Juragan Lelaki agar Tidak Dipolisikan
Oleh: Yuli Setyo Budi, Surabaya
Di depan kamar hotel, Wandi mengetuk. Beberapa saat kemudian daun pintu terbuka. Hanya sedikit. “Masuk,” kata seorang lelaki dari balik pintu. Wajahnya tidak terlihat penuh. Tapi dari suaranya, Indah bisa menebak siapa lelaki itu.
Indah tidak berani mengangkat wajah. Dia berusaha menahan emosi agar tidak meledak. Antara marah kepada suami, marah kepada diri sendiri, dan marah kepada lelaki di balik pintu yang sedang dikuasai nafsu.
“Tinggalkan kami. Jemput istrimu besok pagi,” perintah lelaki tadi kepada Wandi.
Tapi begitu Wandi menghilang, Indah perlahan mulai mengangkat wajah. Pelan tapi pasti. Tegar. “Kamu bisa saja menguasai tubuh ini. Tapi, jangan harap kamu bisa mengusai jiwa di dalamnya. Silakan!”
Pria tadi, yang ternyata bos lalaki Wandi, seketika ilfil. Ilang filing. Semangat untuk memanjakan nafsunya mendadak menguap begitu saja. Walau begitu, dia berusaha tenang.
“Boleh saja kau menolak. Tapi ingat, suamimu bakal tak-jebloskan ke penjara,” ancam lelaki tadi, sebut saja Gofar.
“Silakan. Memang penjara sangat pantas untuk lelaki semacam dia,” kata Indah. Entah dapat kekuatan dari mana dia bisa mengeluarkan kalimat seperti itu. Kemudian perlahan dia membalikkan tubuh dan berjalan meninggalkan kamar hotel.
Indah tidak pulang kembali ke rumah, melainkan memanggil taksi. Dia menuju rumah orang tuanya di kawasan Karangpilang. “Keesokan harinya aku minta tolong saudara untuk mengambil anak-anak di rumah,” kata Indah.
Saudara Indah sempat bertemu Wandi dan sempat mengatakan bahwa Indah sangat marah. Sekarang Indah sedang bersiap melaporkan Wandi ke polisi. Mendengar kata polisi, Wandi kaget. Wajahnya berubah pasi.
[penci_related_posts dis_pview="no" dis_pdate="no" title="terkait" background="" border="" thumbright="no" number="4" style="list" align="right" withids="19463, 19255, 19148" displayby="recent_posts" orderby="rand"]
Kemudian, tanpa banyak bicara dia keluar rumah dan plasss… menghilang. Sampai kini. Tanpa kabar. “Aku memang sempat berencana melapor ke polisi,” kata Indah.
“Melaporkan juragan Wandi atau Wandinya?” tanya Memorandum.
“Aku tidak ada urusan dengan juragan Mas Wandi. Aku bermaksud melaporkan suami. Tapi tidak jadi.”
“Kanapa? Kasihan ?”
“Nggak tau. Otakku korslet, Pak. Hank. Gak mau diajak berpikir.”
Kehidupan kembali berjalan seperti biasa. Hanya, kali ini Indah tanpa didampingi suami. Anak-anak tanpa bimbingan ayah. Cukup lama. Sekitar dua tahun.
“Kini aku lelah hidup tanpa status. Istri bukan, janda bukan. Gak jelas. Makanya aku ke sini (PA, red) untuk konsultasi bagaimana sebaiknya mengambil langkah,” kata Indah, yang sekarang berencana menggugat cerai Wandi. Hanya, dia tidak tahu caranya karena Wandi pun tidak jelas keberadaannya. (habis)