Oleh: Yuli Setyo Budi, Surabaya
Andai tidak terjadi kecelakaan yang menyebabkan Oyik harus dioperasi karena kakinya patah tulang, mungkin sejarah panjang rumah tangga pria mungil dan kurus ini vs ketiga istrinya tidak bakal terbongkar.
“Istri-istrimu sudah tahu kondisimu?”
“Mungkin.”
“Kok mungkin?”
“Aku dibawa ke sini (rumah sakit swasta ternama di Surabaya, red) dalam kondisi tidak sadarkan diri. Jadi, aku tidak tahu apa yang terjadi selama aku tidak sadarkan diri.”
“Risa?”
“Tadi kudengar suaranya. Omong-omong dengan dokter. Tapi, aku pura-pura tidur. Kemudian dia keluar lagi, pamit ke dokter menjemput kerabat ke Juanda.”
Tidak lama kemudian terdengar suara gaduh di luar kamar. Aku menoleh. Pintu terbuka. Ternyata Risa bersama rombongan banyak sekali orang. Dia mengucap salam dan tersenyum.
“Sudah lama, Mas Yuseb?”
“Barusan.”
“Sudah kenal mereka?” tanya Risa, yang Memorandum jawab hanya dengan gelengan.
“Kenalkan. Yang ini Dik Mala. Istri kedua Mas Oyik yang berada di Samarinda. Anaknya dua, tapi tidak bisa ikut ke sini. Yang ini Dik Nia, istri ketiga Mas Oyik yang di Semarang,” kata Risa tanpa menanggalkan senyum.
“Mereka kok tahu kalau aku berada di sini?” sela Oyik.
“Aku yang memberi tahu mereka.”
“Lha kamu tahu dari mana kalau mereka istri-istriku?” tanya Oyik dengan nada datar, tanpa bermaksud menyelidik.
“Aku mengenal Njenengan seperti wanita mengenal bumbu dapur. Ketika polisi memberikan HP Njenengan yang masih utuh dan kubuka, aku langsung memahami file-file sandi di situ.”
“Kamu marah?”
“Seandainya dulu kamu minta izin mau nikah lagi, aku pasti marah. Tapi, apa gunanya marah saat ini? Ketika istri-istrimu merasa bahagia dengan kondisi masing-masing? Ketika kamu sudah memiliki banyak anak dengan mereka?” Berkata demikian, tangan kanan Risa meraih pundak Nia dan tangan kiri meraih pundak Mala.
“Asem tenan,” batin Memorandum. Omongan apa yang pernah disampaikan Oyik kepada ketiga istrinya sehingga mereka begitu tunduk kepadanya? Nggak masuk du nalar. (habis)