Fee Kemacetan

Selasa 01-10-2019,08:05 WIB
Reporter : Agus Supriyadi
Editor : Agus Supriyadi

Oleh: Dahlan Iskan Saya harus membiasakan lagi cara lama: mengemudikan mobil secara manual. “Tidak ada yang matic,” ujar manajer Europcar di kota Cardiff, Inggris, itu. Ini aneh. Di negara maju sulit mendapat mobil matic. Waktu ke Inggris, yang duluuuu, saya tidak memperhatikan. Waktu itu saya hanya numpang mobil orang. Sekarang saya harus nyetir sendiri. Terutama kalau ke jurusan pedalaman. Yang tidak ada jalur bus dan kereta. “Orang Inggris lebih suka mengemudikan mobil manual,” ujar manajer tersebut. “Rasanya tidak masuk akal,” kata saya. “Harganya lebih murah. Asuransinya juga lebih ringan,” tambahnya. “Apakah harga begitu menjadi pertimbangan?” “Sangat,” jawabnya. “Orang Inggris ini miskin-miskin,” katanya, datar. “Inggris itu kaya raya. Indonesia yang miskin.” “Negara Inggris yang kaya. Rakyatnya tidak. Tapi rakyatnya memang terjamin. Fasilitas yang mereka terima cukup,” katanya. Maksudnya: ke dokter gratis. Rumah sakit gratis. Sekolah gratis. Tidak ada lagi yang perlu dikhawatirkan dalam hidup. “Sebenarnya tidak gratis. Rakyat membayar pajak,” katanya. Di Inggris, katanya, lebih 80 persen mobil adalah manual. Baru tahu. Makanya, waktu sewa mobil di Irlandia Utara pun dapatnya juga yang manual. Ini berbeda sekali dengan di Amerika. Yang saya tidak pernah melihat ada mobil yang manual. Sekalian nostalgia. Kalau terakhir saya mengemudikan mobil manual enam bulan lalu. Saat menyusuri Sumba. Dari ujung barat ke ujung timur. Mobil pinjaman teman di sana. Awalnya kagok. Setelah itu biasa lagi. Toh di Inggris sistem kemudinya pakai setir kanan. Di jalur kiri. Seperti di Indonesia. Selama beberapa hari itu hanya sekali hampir bahaya. Yakni saat perjalanan dari Bournemouth ke Southampton. Setelah dari Cardiff, Somerset, dan Plymouth. Mobil tiba-tiba berhenti sendiri. Mesin mati. Di bundaran. Telat ganti gigi. Hampir ditabrak truk yang lagi membelok. Saya lupa pelajaran pertama mengemudikan mobil: ganti ke gigi yang lebih rendah sebelum berbelok. Jangan ketika sedang berbelok. Atau sudah berbelok. Atau, pindahlah ke gigi yang lebih rendah --sebelum menanjak. Jangan ketika sudah di tanjakan. Mesin bisa mati. Itu bahaya. Itulah yang saya alami kembali. Yang mengajarkan itu bos saya --yang sudah seperti ayah sendiri: mendiang Bapak Eric Samola. Beliau juga seorang pereli mobil. Suatu saat paha kiri saya pernah beliau pukul: akibat telapak kaki kiri saya selalu menempel di pedal kopling. “Lepaskan,” kata beliau keras. “Tidak biasa pak. Bahaya,” jawab saya. “Harus dibiasakan,” kata beliau. Sejak itu saya selalu ikuti cara mengemudi beliau. Kaki kiri injak kopling kalau lagi diperlukan saja. Itu akan menghemat rem. Penurunan kecepatan tidak dengan rem --tapi dengan gigi yang lebih rendah. Beliau tidak hanya mengajari saya berbisnis. Juga bagaimana berkarakter. Selama berhati-hari menjelajah jalan raya di Inggris saya tidak pernah menemukan medan yang sulit. Tidak ada tanjakan seperti di Sumba. Atau Sumut. Atau Toraja. Atau di Yellow Stone. Atau di Rocky Mountain. Juga tidak ada yang berkelok-kelok seperti di Sumba. Atau Flores --yang saya nama Kelok Seribu itu. Di Kota London saya mendapat pengalaman baru: membayar fee kemacetan. Besarnya Rp 200.000/hari. Agar tidak menambah kemacetan di London. Itu karena salah saya sendiri: membawa mobil dari luar kota masuk ke London. Semula saya tidak tahu peraturan itu. Tahunya waktu mau membayar parkir. Yang membayar parkirnya harus pakai Apps. Berarti harus memasukkan nomor plat mobil. Lalu ketahuan: mobil dari luar London. Parkir di pinggir jalan Rp 90 ribu/jam. Maksimum 4 jam: Rp 500 ribu. Maka membawa mobil ke London amat sangat repot. Lebih praktis pakai kereta bawah tanah. Atau bus kota. Membawa mobil sendiri menghabiskan waktu. Untuk muter-muter cari tempat parkir. Atau terlalu banyak berhenti di lampu bangjo. Kaki kiri pun penat. Begitu sering harus menginjak kopling. Di London berlaku prinsip Gubernur Anies Baswedan: alat transportasi terpenting adalah kaki.(*)

Tags :
Kategori :

Terkait