Oleh: Yuli Setyo Budi, Surabaya
Memorandum bergegas turun, memberi kesempatan Nani duduk di jok samping Kiai Azis. Kami memperhatikan prejengan Nani dari dekat. Lumayan manis. Tipis-tipis di atas standar.
Hanya pakaiannya yang norak. Bukan minimalis dan seksi seperti kebanyakan dipakai oleh perempuan-perempuan di pinggir jalan, Nani malah memakai kulot nggedobyor dipadu jaket tebal warna pelangi merah, kuning, hijau menyala.
“Sekali lagi saya tanya, Mbaknya nggak nyesel ikut kami? Kalau nanti mobil sudah jalan, sudah tidak bisa dibatalkan lho.”
“Diajak main bareng-bareng juga mau,” sahut Nani dengan nada nakal.
“Sudah… thit?”
“Thit thet thot. Om Ganteng ini pinter becanda deh. Ayolah Om kita langsung cabut.”
Mobil pun bergerak. Bersamaan dengan itu, Nani spontan menggelendot di pundak Kiai. Astaghfirullah. “Waduh jangan gini. Om nggak bisa nyetir dong. Duduk yang manis sana,” tolak Kiai Azis sambil tersenyum. Nani menurut.
“Ini mau ke arah mana sih Om?”
“Ya terserah aku. Mbaknya kan ikut, ya nurut saja. Manut.”
“Iya deh Om Ganteng,” kata Nani.
Menjelang masuk kota, Kiai Azis mengarahkan mobil menuju masjid. Nani kaget. Refleks dia bertanya, “Kok ke masjid, Om? Mau ngapain?”
“Tenang, Om mau pipis. Mbaknya mau nganterin Om pipis?”
“Om bisa aja. Kalau diajak ya pasti mau. Megangin juga mau,” katanya diikuti tawa kecil cekikikan.
“Sudah, tunggu di sini saja sebentar bersama Mas-Mas,” kata Kiai Azis sambil mengambil tas punggung yang ditaruh di bawah jok.
Hampir 15 menit berlalu, Ustaz Azis tidak juga nongol. Dari jauh malah tampak seseorang yang memakai jubah dan surban mendekati mobil. Mendekat, mendekat, dan sampai di samping mobil.
Dia membuka pintu mobil dan duduk di jok sopir. Nani terus mengawasi Kiai tanpa keluar kata-kata. Kamitenggengen. Sepertinya ada yang mau disampaikan tapi urung, begitu berulang-ulang.
Nani terus ndomblong, sementara Kiai Azis cuek saja seperti tidak ada apa-apa. Memorandum berkata dalam hati, “Sandiwara apa yang mau dipertontonkan Kiai Azis?”
“Jadi, Om ini Pak Kiai ya?” akhirnya keluar juga kata hati Nani.
“Iya.”
“Kok tadi pakai gitu? Kayak artis Barat?”
“Kan belum waktunya.”
“Waktunya apa Om? Eh Pak Kiai?”
“Pengajian. Saya diundang ceramah. Sebentar lagi nyampe.”
“Om-Om-Om. Behenti Om. Aku mau diturunkan di sini aja,” kata Nani gencar. Terbata-bata.
“Ya nggak bisa. Tadi katanya mau ikut, ya ikut sampai selesai.”
Wajah Nani merebak. Tampak sekali dia ketakutan, “Sudahlah Om. Nggak dibayar juga nggak apa-apa. Pokoknya turunkan aku di sini. Cepatan Om, turun.”
“Pokoknya ikut sampai selesai. Titik.”
Mobil semakin mendekati tempat acara. Massa berjubel. Ratusan. Malah mungkin ribuan. “Pak Kiai, berhenti Pak Kiai,” pinta Nani mulai menangis. Ia mengganti sapaan Om menjadi Pak Kiai. (bersambung)