Oleh: Dahlan Iskan
Jumat pagi lalu saya di Wimbledon. London Barat.
Nanggung sekali.
Mau balik ke pusat Kota London takut ketinggalan salat Jumat. Mau langsung cari masjid terdekat masih terlalu awal.
Akhirnya saya mampir ke stadion tenis Wimbledon. Yang terkenal itu. Kan sudah dekat. Saya pikir lapangan tenis itu di Wimbledon.
Ternyata di Southfields.
Memang tidak jauh dari Wimbledon. Hanya perlu naik kereta bawah tanah dua kali stop. Seperti dari Manggarai ke Tanah Abang. Hanya berhenti di Dukuh Atas.
Dari Wimbledon ke Southfields hanya berhenti di stasiun Wimbledon Park.
Keluar dari stasiun Southfields ternyata masih harus jalan kaki. Agak jauh. Bisa 20 menit. Saya putuskan naik bus kota. Toh saya sudah membeli kartu terusan.Yang kartunya bisa dipakai naik kendaraan umum apa saja.
Lapangan tenis Wimbledon ternyata satu kawasan besar olahraga. Di kiri jalan lapangan golf. Lalu lapangan kriket. Baru di kanan jalan lapangan tenis. Termasuk museum tenis Wimbledon.
Waktu salat Jumat pun tiba. Ternyata juga ada masjid dekat situ. Tidak jauh dari stasiun Southfields. Hanya perlu jalan kaki 10 menit. Melewati perumahan khas pinggiran Kota London.
Asyik juga jalan kaki. Toh udara London sejuk sekali. Biar pun tengah hari. Di akhir musim panas seperti ini. Tidak ada musim panas yang menyiksa di London. Begitulah orang London biasa membanggakan kotanya.
Saya pun tiba di masjid itu.
Itulah masjid tertua di London. Yang dibangun pada 1924. Awalnya saya ingin ke masjid Baitul Futuh. Yang di Wimbledon. Yang besar sekali. Bisa untuk 10.000 jemaah. Saya kenal masjid itu. Kenal dari jauh: ada stasiun TV-nya. Namanya MTA TV.
TV Muslim Internasional.
Saya ingat waktu transplantasi hati di Tianjin dulu. Yang harus berbulan opname di rumah sakit.
Sewaktu cari-cari acara TV ketemu MTA. Acaranya dakwah, salat jemaah lima waktu, tafsir Alquran dan ceramah agama. Sepanjang siang dan malam.
Saya berkata dalam hati: ini di rumah sakit negara komunis, kok ada channel tv Islam. Di sela-sela 80 channel bahasa Mandarin.
Maka saya cari-cari dari mana acara itu disiarkan. Ternyata dari London. Dari masjid Baitul Futuh itu.
Lalu saya pun tahu: oh ternyata itu masjidnya aliran Ahmadiyah di London.
Ya sudah. Kapan-kapan ingin ke sana. Kalau diberi kesembuhan kelak.
Tapi saya sudah terlanjur di Southfields. Tidak nutut lagi kalau harus balik ke Wimbledon --ke Baitul Futuh.
Maka saya Jumatan saja di masjid tertua tadi.
Eh, ternyata milik aliran Ahmadiyah juga.
Ya sudah. Masuk saja.
Sudah jam 12.30. Sudah waktunya Jumatan.
Saat saya tiba di masjid itu pagarnya masih terkunci. Kurang lima menit lagi baru dibuka.
Tapi saya lihat ada petugas pintu. Saya perkenalkan bahwa saya dari jauh. Dari Indonesia. Pintu pun dibuka.
Belum ada orang yang datang. Saya pun bisa keliling kompleks masjid ini.
Masjidnya sendiri kecil. Arsitekturnya seperti masjid Asia Tengah. Tapi lahannya luas.
Di depan masjid ini terdapat bangunan rumah khas Inggris. Di belakang rumah besar itu ada halaman luas. Banyak kursi di situ. Pertanda sering dipakai acara besar.
Orang pun mulai berdatangan. Masjid itu penuh. Tidak muat. Sebagian masuk ke bangunan sebelah masjid. Yang ruangannya sebesar masjid. Penuh juga.
Ternyata banyak pula wanita yang datang. Mereka di ruangan besar yang lain lagi. Penuh pula.
Total sekitar 500 orang.
Lahan masjid ini lebih satu hektar. Tidak sebesar Baitul Futuh. Tapi saya kagum: kok di London bisa mendapat tanah sebegitu luas untuk masjid.
Saya pun masuk masjid. Bersih sekali. Karpetnya polos. Dindingnya polos. Hanya di mihrob ada tulisan Arab: kalimat syahadat. Seperti yang kita kenal. Tidak ada tambahan apa-apa.
Sambil menunggu Jumatan saya mengambil Alquran. Yang ada terjemahan Inggrisnya.
Saya ingin tahu apakah Alquran aliran Ahmadiyah ini sama. Kok kelompok ini sampai dianggap bukan Islam. Dikeluarkan dari Islam. Dianggap menyimpang dari Islam.
Saya hanya sempat membaca dua surah: Al Fatihah dan Al Baqarah. Sama. Tidak ada bedanya.
Lalu saya perhatikan terjemahannya. Di sini baru terasa beda. Kata ‘Isa ibna Maryam’ diterjemahkan menjadi ‘Jesus, son of Mary’.
Tentu tidak salah.
Orang yang berbahasa Inggris umumnya orang Kristen. Mereka tidak tahu Isa atau Maryam. Tahunya Jesus atau Mary.
Ada beberapa terjemahan lagi yang menurut saya lebih mudah dipahami oleh orang yang berbahasa Inggris. Misalnya perintah sujud kepada Adam. Sujud diterjemahkan menjadi ‘submit’. Khalifah diterjemahkan menjadi ‘vicegerent’.
Lagi asyik-asyiknya membaca terjemahan Alquran itu pundak saya dijawil orang. Saya menoleh ke arahnya. Sesapuan saya lihat masjid sudah penuh. Saya terlalu asyik. Tidak memperhatikan kedatangan mereka.
Yang menjawil pundak saya tadi memberi isyarat. Agar saya melihat ke dinding depan. Ternyata sudah ada live tv yang diproyeksikan ke dinding sebelah tempat imam.
Isinya: ceramah dalam bahasa Urdu. Yang ceramah bukan orang sembarangan. Beliau adalah Mirza Masroor Ahmad. Khalifah Jemaah Ahmadiyah sedunia saat ini. Khalifah ke-5. Setelah pendiri Ahmadiyah, Mirza Ghulam Ahmad.
Saya tidak paham apa isi ceramahnya. Semua dalam bahasa Urdu.
Beberapa saat kemudian seseorang mengantarkan ke saya alat penerjemah. Seperti yang dipakai di konferensi internasional.
Earphone-nya saya masukkan ke telinga. Reciever-nya saya pegang. Saya amati alat itu: Made in China. Saya pun menjadi paham isi ceramah itu.
Tentang orang-orang hebat dalam perkembangan Islam. Siapa gubernur Mesir, Palestina, Baarah, Kufah dan banyak lagi. Di awal perkembangan Islam dulu. Saya menjadi ingat pelajaran di madrasah Aliyah dulu.
Juga tentang seorang jendral polisi Pakistan yang ikut aliran Ahmadiyah.
Ceramah itu sendiri terjadi di masjid Baitul Futuh. Yang disiarkan live lewat MTA --Muslim Televisi Ahmadiyah. Bisa diikuti di mana pun. Saya pernah melihatnya di Tianjin. Termasuk ditangkap di masjid ini.
Ceramah itu lama sekali --1 jam penuh. Gaya pidatonya datar. Sang Khalifah terlihat sudah tua. Dengan jambang dan jenggotnya yang memutih. Dengan sorban putih khas Pakistan/India di kepalanya.
Setelah ceramah selesai barulah azan berkumandang. Para jemaah lantas salat dua rakaat. Seluruh gerakan salatnya nyaris tidak beda dengan di Indonesia.
Takbiratul ikramnya sama. Sedekapnya sama. Duduk takhiyatnya sama. Menudingkan jarinya sama.
Bacaannya sama.
Kiblatnya juga sama.
Rupanya masjid ini dulunya dibuat menghadap ke timur. Terlihat dari posisi ruang imamnya (mihrab).
Lalu belakangan dianggap kurang tepat menghadap Kabah. Maka, sekarang, garis karpetnya dibuat mencong. Susunan barisan salat pun menjadi seperti mencong. Persis seperti banyak masjid di Indonesia. Yang harus menyesuaikan arah kiblatnya.
Khotbahnya sendiri sangat pendek. Lebih pendek dari khotbah di masjid-masjid aliran Jamaah Tabligh. Yang hanya 7 menit.
Di masjid aliran Ahmadiyah ini khotbahnya hanya 4 menit. Khotbah pertama 3 menit. Khotbah kedua satu menit. Bahasanya campuran: awalnya Arab. Yang dilagukan. Seperti di desa saya dulu. Lalu Inggris. Lalu Urdu. Lalu Arab lagi.
Selesai salat Jumat kami langsung salat jenazah. Seperti di masjid Al Haram di Mekah.
Setelah wiridan sebentar mereka makan bersama. Di sebuah rumah dengan halaman luas. Lokasinya di seberang jalan. Yang ternyata milik Ahmadiyah juga. Menunya: nasi mandi, kare, dan roti naan.
Waktu ngobrol saya sering ditanya: apakah saya anggota Ahmadiyah.
“Bukan,” jawab saya. “Tapi saya banyak membaca apa itu Ahmadiyah,” kata saya.
Kehadiran saya di situ memang mencolok: saya satu-satunya yang tidak pakai kopiah. Juga satu-satunya yang tidak memakai kaus kaki.
Saya mencopot kaus kaki saat berwudu tadi. Lalu tidak memasangnya kembali.
Baik juga semua pakai kaus kaki. Agar karpetnya tetap bersih. Tidak terkena keringat telapak kaki.
Saya pun bertanya tentang kondisi Ahmadiyah di Pakistan. Yang saya tahu begitu menderitanya. Masjid Ahmadiyah sering diserbu: puluhan orang Ahmadiyah meninggal dunia.
Nyawa orang Ahmadiyah dianggap halal untuk dibunuh.
UU Pakistan juga melarang Ahmadiyah hidup di sana. Tempat ibadahnya ribuan. Tidak boleh disebut masjid. Untuk bisa menjalankan ibadah mereka harus menyatakan diri mereka bukan Islam.
Begitulah. Kelompok ini menjalankan agamanya dengan tertutup. Di Pakistan. Begitu sulit mereka bergerak.
Aliran ini didirikan di Desa Qadian. Di pelosok negara bagian Almitsar. Saat Pakistan pisah dengan India orang Islam pindah ke Pakistan. Demikian juga jamaah Ahmadiyah. Mereka pindah ke sebuah pegunungan kering dan gersang. Di Rabwah. Sekitar 200 km sebelah barat laut Lahore.
Pegunungan itu berkembang menjadi kota. Menjadi pusat Ahmadiyah dunia.
Pindah ke negara Islam justru dimusuhi. Masjid mereka diserbu. Dibakar. Banyak yang dibunuh.
Mereka pun memindahkan pusat Ahmadiyah ke London. Khalifahnya pun kini tinggal di London.
Kalau tidak terusir dari India, lalu terusir lagi dari Pakistan, mungkin Ahmadiyah tidak berkembang seperti ini di London. Juga di dunia.(*)