Oleh Arief Sosiawan
Pemimpin Redaksi
Minggu (18/8) besok bertepatan dengan 10 Zulhijah. Pada tanggal ini umat Islam sedunia merayakan Iduladha, yang juga sering disebut Hari Raya Haji atau Hari Raya Kurban.
Pada hari itu kaum muslimin yang sedang menunaikan haji berwukuf di Arafah. Mereka (lelaki dan perempuan) berpakaian serba putih dan tidak berjahit, yang disebut pakaian ihram.
Dalam Islam, pakaian seperti ini melambangkan persamaan akidah dan pandangan hidup yang memiliki tatanan nilai persamaan dalam segala bidang kehidupan. Tidak membedakan di antara mereka, semuanya sederajat. Sama-sama mendekatkan diri kepada Allah yang Maha Perkasa, sambil membaca kalimat talbiyah.
Banyak orang mengatakan, Iduladha sebagai Idul Kurban. Sebab, pada hari itu Allah SWT memberi kesempatan kepada kita untuk lebih mendekatkan diri kepada-Nya.
Dan bagi umat muslim yang belum mampu mengerjakan perjalanan haji, mereka diberi kesempatan untuk berkurban. Yaitu, menyembelih hewan kurban sebagai simbol ketakwaan dan kecintaan kepada Allah SWT.
Perayaan Iduladha mengingatkan kisah teladan Nabi Ibrahim. Kisah ketika nabinya para nabi ini diperintah oleh Allah SWT menempatkan istrinya, Hajar, bersama Nabi Ismail (putranya), yang saat itu masih menyusu di lembah yang tandus, gersang, tidak tumbuh sebatang pohon pun. Lembah itu demikian sunyi dan sepi tidak ada penghuni seorang pun.
Yang terjadi kala itu, tidak diketahui maknanya oleh Nabi Ibrahim. Apa maksud sebenarnya dari wahyu Allah itu. Yang pasti, sebagai hamba Allah, Nabi Ibrahim berserah diri dan melaksanakan perintah itu dengan ikhlas dan tawakkal.
Selain itu, Iduladha juga dimaknai sebagai hari pengorbanan. Sebab, dalam sejarahnya Nabi Ibrahim juga diperintah untuk menyembelih Ismail, anak kandung satu-satunya saat itu.
Itulah pengorbanan terbesar seorang Nabi Ibrahim, setelah bertahun-tahun menikah tidak dikaruniai anak, tapi ketika si anak sudah remaja, malah diperintah untuk menyembelih anaknya tersebut, yakni Ismail, yang ketika itu masih remaja dan menjadi anak satu-satunya.
Yang terjadi kali ini juga demikian. Ratusan ribu orang Indonesia, lelaki dan perempuan, tua, muda, berpangkat atau rendahan, majikan atau karyawan, bos atau bawahan, semua tumplek-blek melakukan apa yang dicontohkan Nabi Ibrahim AS. Meski era kini kurbannya berupa hewan. Artinya, makna berkorban bagi orang Indonesia yang mayoritas umat Islam bukan barang baru.
Gampangnya, bagi orang Indonesia pengorbanan sudah seperti makan asam garam dalam kehidupannya. Banyak contoh yang bisa disebut. Pengorbanan kala mencari jati diri pemuda Indonesia, terjadi ketika sumpah pemuda pada 1928. Pengorbanan merebut kemerdekaan ketika melawan penjajah pada 1945. Pengorbanan saat pergantian era atau orde dari lama ke baru pada 1970 dan era reformasi pada 1998, juga layak dicatat sebagai pengorbanan yang besar bagi orang Indonesia.
Catatan terakhir pengorbanan besar orang Indonesia terjadi lagi pekan ini, ketika tiba-tiba lampu mati atau blackout di Pulau Jawa yang menelan kerugian mencapai miliaran rupiah.
Nah, kita semua tahu, ketika blackout terjadi banyak home industry milik rakyat kecil lumpuh. Tentu itu juga layak dicatat sebagai pengorbanan terbesar orang Indonesia untuk negaranya. Sebab, kebanyakan mereka hanya bisa menyaksikan, dan menikmati kerugian kendati pemerintah memberi kompensasi.(*)