Langit Hitam Majapahit – Pertempuran Hari Pertama (2)

Sabtu 24-07-2021,14:14 WIB
Reporter : Agus Supriyadi
Editor : Agus Supriyadi

Seketika kaki Bondan menginjak tanah, tubuhnya kembali meluncur deras menerjang Ki Cendhala Geni. Keris Bondan meliuk-liuk menyengat, sesekali mematuk dan melakukan rangkaian tebasan yang berbahaya. Ki Cendhala Geni tidak menyangka bahwa Bondan dapat mengulang serangan yang sangat cepat. Keris Bondan seolah menjadi ratusan jumlahnya, untuk kemudian Ki Cendhala Geni susut ke  belakang beberapa langkah. “Kadal kurap! Engkau sungguh gila,” kata Ki Cendhala Geni ketika jarak serangan Bondan telah terbatasi. “Tidak lebih gila darimu!” desis Bondan. “Ya. Kegilaan yang akan membunuh pasukanmu sehamparan tebasan parang,” kata Ki Cendhala Geni seraya mengusap kedua sisi tajam mata kapaknya. “Semua orang?“ “Ya. Semua orang termasuk anak dan perempuannya.” “Engkau orang macam apa yang yakin melakukannnya?” Tidak ada jawaban dari Ki Cendhala Geni karena dendam pada orang-orang Majapahit telah membuatnya beku. Bondan adalah orang pertama yang harus dituntaskan terlebih dahulu olehnya. Ia berlekas menyerang dengan dahsyat.  Pusaran kapak melanda pertahanan Bondan dari segala arah bagaikan prahara topan saat musim hujan. Bondan segera merasakan tekanan hebat dari serangan Ki Cendhala Geni. Menurut penilaian Bondan, sesungguhnya orang yang berkelahi dengannya telah mengalami peningkatan sejak pertempuran yang terakhir kali. Kemampuan Bondan pun juga mengejutkan Ki Cendhala Geni. Betapa dalam waktu yang cukup singkat, tataran ilmu Bondan telah meningkat berlipat. Keris dalam genggaman Bondan menjadi lebih berbahaya. Keris itu berputar-putar seperti perisai yang menangkal setiap serangan kapak. Dan dalam sekejap telah berubah menjadi ujung yang dapat menyengat dalam hentakan yang tiba-tiba.

Baca Juga :

Terjangan Ki Cendhala Geni memaksa Ki Sentot untuk memberikan aba-aba bahwa pertempuran harus segera dimulai. Tak lama setelah Ki Cendhala Geni melintasi dinding api, pasukan Ki Sentot bergerak seperti gelombang lautan. Pada ujung-ujung sayap, setiap kelompok menyebar sambil menyusun gelar sesuai yang diperintahkan senapati mereka. Pasukan induk Ki Sentot pun semakin tergelar panjang dan mulai mendesak barisan depan pasukan induk Sumur Welut. Ki Gede Pulasari menggeser kedudukan pasukan gajah. Para serati telah berhasil menenangkan binatang besar yang pada kepalanya telah terpasang benda seperti mahkota, sedangkan sebentang kain warna merah bersulam benang emas menutup bagian punggung dan sebagian perutnya. Kawanan gajah bergerak maju seraya mengibaskan belalai yang pada ujungnya telah dipasang rantai yang berujung bandul besi bergerigi.  Pasukan gajah semakin mendekati barisan api yang mulai mengecil, dan di belakang mereka terdapat pasukan Ki Sentot bergerak dan bersiap melindas pasukan Sumur Welut. Sejenak kemudian pasukan gajah  telah melintasi aral lintang yang nyala apinya sudah tak begitu besar. Pasukan Sumur Welut yang masih berusaha untuk menyusun gelar Dirada Meta mulai mendapat gangguan besar. Susunan Dirada Meta belum sempurna bentuknya namun harus menerima gelombang hantaman tanpa henti. Para prajurit yang berada di atas punggung gajah melontarkan anak panah. Mereka menebar ancaman tersendiri bagi pasukan Sumur Welut. Kemelut pun segera menyeruak di permukaan. Barisan Sumur Welut tidak lagi kokoh dan perlahan mengendur. Keberadaan pasukan gajah dan keganasan serati ketika mengendalikan binatang besar sanggup mengikis keberanian dan daya tempur musuh mereka. Melihat ketahanan tempur orang-orang Sumur Welut yang tergerus pelan, Mpu Drana segera meminta izin Gumilang untuk memisahkan diri. Ia berencana menyerang orang-orang yang berada di atas punggung gajah. “Gumilang,” kata Mpu Drana, ” aku akan membawa sebagian prajuritmu untuk menyerang mereka secara khusus. Setelah itu aku akan berputar ke setiap kelompok.” “Baiklah, Paman. Saya akan mencoba menghalangi prajurit Ki Sentot yang bertumpu pada gajah.” Mpu Drana segera memisahkan diri dengan disertai sejumlah prajurit berkuda untuk mengacaukan gerak gajah. Mereka mulai melontarkan lembing serta macam-macam senjata yang dapat mereka peroleh dari medan perang. Kuda-kuda dari pasukan Gumilang terus menerjang maju dan tak lama kemudian mereka berputar balik, lalu dengan tangkas membentuk lingkaran. Pasukan berkuda menyebar dalam kelompok kecil mengepung pasukan gajah.  Sementara kelompok lainnya berupaya memecah pasukan penunjang yang menjadi leher dalam susunan gelar Garuda Nglayang. Namun upaya mereka mendapat hambatan yang luar biasa kuat. Barisan penunjang yang menjadi leher Garuda Nglayang cukup tangguh merapatkan barisan dan tak mudah dibelah. Sedangkan pada sayap kiri Sumur Welut yang dipimpin olehWarastika belum menemui hambatan berarti. Pasukannya mampu mendesak mundur bahkan sempat terjadi ketidakseimbangan dalam susunan Garuda Nglayang. Menyadari pasukannya mulai terdesak, Ubandhana yang memimpin sayap kanan lekas meneriakkan perintah, kemudian terjadilah perubahan dalam pergerakan prajuritnya. Keseimbangan dapat mereka raih. Tak hanya itu, pengalihan siasat juga menyebabkan sayap Ubandhana dapat mendesak prajurit Warastika. Kehadiran Ubandhana  yang bersenjata senjata tombak pendek benar-benar merepotkan sayap kiri Dirada Meta pasukan Sumur Welut.  Kekuatan yang tersalur melalui senjatanya ditambah kelincahan geraknya berkali-kali mengacaukan barisan lawan. Warastika sendiri belum dapat melepaskan diri dari tekanan beberapa prajurit yang mengepungnya. Beberapa prajurit Sumur Welut mengetahui keadaan yang terjadi pada pemimpin kelompoknya, lalu mereka mulai mencoba melepaskan diri dari lawannya. Warastika pun mendapatkan kelonggaran, setelah itu ia menghampiri Ubandhana yang telah membuat banyak lubang pada barisannya. “Marilah bermain-main denganku. Tak elok jika prajurit itu berhadapan dengan seorang senapati perkasa sepertimu,” kata Warastika. “Katakan itu jika sedang duduk di kedai, Ki Sanak. Di medan perang yang ada hanya membunuh dan terbunuh. Kemarilah dan siapakah dirimu?” tanya Ubandhana seraya mengelak tebasan golok. “Aku Warastika. Mari kita hentikan omong kosong ini!” seru Warastika seraya menubruk Ubandhana. Tetapi Ubandhana bukan orang yang mudah dikalahkan. Tombak pendek itu memapas serangan Waraskita. Beberapa jurus telah mereka lewati dengan cepat, maka terasalah bagi Warastika bahwa Ubandhana adalah lawan yang tangguh. Ia mulai mengalami kesulitan melawan Ubandhana yang kuat dan keras ini. Golok besar yang digenggamnya seperti tidak berdaya menggempur pertahanan Ubandhana. Berkat pengalaman dan ketenangannya yang sudah melewati puluhan pertempuran maka Warastika dapat memperlambat gerak laju sayap Ubandhana.

Baca Juga :

Pada bagian lambung di belakang pasukan Warastika, terlihat pasukan yang dipimpin Ra Caksana - yang berwajah sedikit bundar - dapat memecah kerumunan barisan pasukan Ki Sentot yang berhasil menyusup ketika Warastika terdesak. Dengan mantap pasukan ini merangsek maju mendekati bagian dalam yang menopang kekuatan Ubandhana. Melihat pasukannya bergeser mundur, Ubandhana mencoba melepas tekanan lawannya namun usahanya menemui jalan buntu. Beberapa prajurit dari Ra Caksana dapat menghambat alur bantuan yang datang mengarah ke Ubandhana. Ubandhana yang mulai terkepung pun bertempur semakin ganas dan liar. Pragola membawa pasukannya bergerak maju menuju dinding yang merupakan barisan kelompok yang dipimpin Ra Caksana. Dua kekuatan besar saling bertumbuk. Pada medan yang tak luas karena terhimpit gerak pasukan induk, maka arena itu menjadi semakin penuh gegap gempita. Dentang suara senjata beradu, pedang yang saling berbenturan, perisai yang saling bertumbukan,  tombak yang terpukul patah ditambah dengan jerit kesakitan dan teriakan kematian semakin menggoncang suasana. Korban mulai jatuh satu per satu dari kedua pihak. Darah meleleh membasahi baju, kulit dan tanah. Matahari sedikit bergeser ke barat. Asap mulai terhempas oleh angin yang bertiup menyapu dataran perbukitan. Di bawah mendung yang tipis berarak, pasukan gajah yang dipimpin Mpu Tandri telah merangsek maju dan membuat barisan Sumur Welut porak poranda. Upaya Gumilang untuk melumpuhkan pasukan gajah belum berhasil.  Di tengah upaya yang belum menunjukkan hasil, Gumilang memutuskan untuk mengubah susunan barisan. Kelompok yang menghambat laju gajah digesernya untuk menggebrak lawan yang berada di belakang pasukan gajah. Sementara yang lainnya memukul pasukan gajah secara silang menyilang. (bersambung)
Tags :
Kategori :

Terkait