Langit Hitam Majapahit – Rawa-Rawa (11)

Jumat 16-07-2021,14:14 WIB
Reporter : Agus Supriyadi
Editor : Agus Supriyadi

Pada saat itu Ken Banawa belum selesai menuntaskan pemulihan. Ken Banawa terkesiap dengan serangan maut Ubandhana dan untuk beberapa lama ia terkurung dalam badai tombak musuhnya. Tetapi seorang Ken Banawa adalah perwira yang telah mengalami pertarungan beratus-ratus kali dalam hidupnya. Baik pertarungan orang per orang maupun dalam peperangan. Pengalaman inilah yang menjadikannya sangat tenang dan perlahan dapat memperbaiki keadaan. Ubandhana dan Ken Banawa segera terlibat dalam pertempuran yang dahsyat. Tampak nyata kelincahan Ken Banawa tidak berkurang karena usia yang lanjut dan Ubandhana pun terkesan perkasa. Kekuatannya seolah mampu mengimbangi kelincahan Ken Banawa. Di lingkaran pertempuran yang lain, semakin lama semakin nyata terlihat para pengawal Laksa Jaya berhasil didesak prajurit Majapahit. Bahkan laskar Laksa Jaya bergeser semakin jauh dari Arum Sari dan makin mendekati garis pantai. Ruang gerak mereka menjadi sempit karena gelar setengah lingkaran yang diperagakan oleh prajurit Majapahit. Sedikit demi sedikit, satu demi satu anak buah Laksa Jaya mengalami luka-luka dan pekik mengerikan kerap mengguncang udara di sekitar rawa-rawa. Jeritan pengiring Laksa Jaya seolah memberitahu Patraman yang sedang bertarung dahsyat dengan Gumilang. Patraman tahu bahwa beberapa di antara laskar yang dikerahkan Laksa Jaya adalah pengikutnya yang setia, maka kini ia serasa tersayat ulu hatinya ketika pekik kematian keluar dari kerongkongan anak buahnya itu. Kekecewaan dan kecemasan berkumpul menjadi satu kemarahan dan melanda Patraman, seiring dengan itu ia ingin segera menghabisi musuhnya. Semakin cepat itu lebih baik sebelum anak buahku semakin berkurang! pikirnya. Ia membuat kesimpulan pendek bahwa dengan kematian Gumilang maka perlawanan Ken Banawa atau Bondan dapat berakhir lebih cepat. Menurut perhitungannya, separuh anak buah Gumilang akan dapat dibabat habis oleh senjatanya, lantas ia berpindah untuk memasuki gelanggang Ken Banawa atau Bondan. Keduanya? Sama saja! Hatinya berkata dengan rasa geram yang membuncah hebat. Patraman mengamuk sangat hebat dan mengerahkan seluruh kemampuan yang dimiliki untuk menyerang Gumilang habis-habisan. Ujung pedangnya semakin lama semakin dekat dari tubuh Gumilang. Namun Gumilang tetap mampu menjaga keseimbangan sekalipun lawannya telah berubah lebih garang dalam menyerang.

Baca Juga :

Gumilang merasa tidak dapat selamanya bertahan, Ia harus memutuskan segala sesuatu dengan cermat. Seketika pedangnya terayun dengan derasnya, memotong sinar putih yang bergulung-gulung di sekitarnya. Patraman menyadari bahwa Gumilang mulai mencoba keluar dari tekanannya. Pada saat itu Patraman mengayunkan pedang, menghantam secara langsung badan senjata yang berusaha membelah tubuhnya. Maka terjadilah sebuah benturan yang sengit. Keduanya terpental mundur tapi sekejap kemudian mereka telah bergumul lagi dalam gulungan senjata yang bergerak cepat dan penuh tenaga. Terasa oleh Patraman betapa tangannya kini bergetar, ia tidak mengira bahwa kekuatan Gumilang menjadi luar biasa dan mungkin beberapa tingkat berada di atasnya. Bersamaan dengan meningkatnya pertarungan Gumilang dengan Patraman, pengalaman dan ketenangan Ken Banawa sanggup mengatasi tekanan lawannya. Dan perlahan kini Ken Banawa mampu menguasai lawannya. Ubandhana kini menyadari bahwa ia sedang menghadapi benteng karang yang kokoh. “Orang tua! Haruslah engkau menyingkir dari hadapanku. Tak lama lagi akan aku benamkan wajah tua itu ke dalam lumpur rawa-rawa!” Ubandhana menyeringai bengis sambil menambah tenaga untuk keluar dari tekanan Ken Banawa. Memerah wajah Ken Banawa namun ia masih mampu menguasai keseimbangan pertarungan. Pertempuran kedua kelompok yang terpisah menjadi beberapa lingkaran kecil ini seperti tak kunjung usai. Sebagai pemimpin prajurit, Ken Banawa dan Gumilang paham bahwa secepatnya pertempuran harus diakhiri. Mereka tidak berharap pada Bondan agar lekas mengakhiri pertarungannya dengan Ki Cendhala Geni. Karena kedua orang ini tahu kehebatan ilmu Ki Cendhala Geni, selain pengenalan mereka terhadap watak Bondan. Melihat Ken Banawa menganggukkan kepala, Gumilang paham yang harus dilakukan. Sekejap kemudian ia memberi tekanan dahsyat pada Patraman. Dua senjata yang berada di tangannya melanda pertahanan musuhnya. Selain pedangnya yang bergulung-gulung dengan sinar yang menyilaukan mata, belati pendek Gumilang telah memberi satu dua sentuhan pada kulit Patraman. Arus serangan Gumilang datang bergelombang tiada henti menggempurnya. Gelombang serangan pedang Gumilang memang mampu ia hindari atau menolaknya, namun belati pendek lawannya tiada henti menyengat tubuhnya. Darah perlahan mulai membasahi banyak bagian tubuhnya, semakin lama Patraman semakin merasa lemah. Patraman melenting menjauhi Gumilang. Namun ia bertekad tidak akan rela ditangkap hidup-hidup untuk dihukum gantung di alun-alun kotaraja. Gumilang menatap lekat wajah Patraman.Begnsid dan haus darah, pikir Gumilang ketika itu. Gumilang merasakan getar kemarahan jelsa terpancar dari dua sorot mata musuhnya. Gumilang sadar sepenuhnya bahwa Patraman akan mengerahkan seluruh sisa-sisa tenaga untuk membinasakannya. “Patraman, menyerahlah! Ada penyelesaian untuk mengakhiri masalah ini selain kematian,” perintah Gumilang. “Persetan! Hidup sebagai orang yang dikurung adalah kehinaan abadi. Aku sudah bersiap untuk mati bersamamu, Gumilang!” geram Patraman. Gumilang meremang dengan kalimat terakhir Patraman yang seolah-olah telah menjadikannya sebagai orang yang tidak lagi mempunyai jantung yang berdetak. Bentakan keras terdengar bersamaan ketika keduanya saling serang lagi. Pada satu kesempatan ketika keduanya surut terdorong ke belakang, Gumilang melayang cepat menerjang Patraman. Jantung Patraman berdesir saat melihat pedang Gumilang telah berada dalam genggaman tangan kiri. Perubahan yang demikian cepat benar-benar mengacaukan perhatian Patraman, sekalipun begitu ia cepat menyesuaikan diri tetapi perubahan itu terlalu cepat. Semakin dekat Gumilang dan selangkah lagi keduanya akan bertumbuk keras. Kaki Gumilang tiba-tiba berubah haluan! Ia menghunjam tanah dan tubuhnya melayang melintasi kepala Patraman. Patraman cepat melontarkan diri ke bagian kiri namun satu gerakan kejutan terjadi!

Baca Juga :

Pada saat itu Gumilang sangat cepat menukar senjatanya dengan tubuh masih melayang di udara. Terdengar pekik tertahan. Patraman roboh dengan pedang menembus dadanya. Setelah mencabut pedang, Gumilang mengamati pertarungan Bondan dengan Ki Cendhala Geni. “Bondan dalam keadaan sulit,” katanya pelan. Serangan demi serangan beruntun Ki Cendhala Geni, disertai pengalaman bertarung yang panjang menjadikan Bondan terancam bahaya. Sekalipun ia sanggup mengelak dari sabetan kapak namun angin yang ditimbulkan kapak mampu membuat kulitnya terasa pedih. Sedikit demi sedikit Bondan mulai terdesak.  Ketika kaki kanan Ki Cendhala Geni menjulur ke lambungnya, Bondan menarik langkah mundur, seketika ia melihat cahaya putih mengarah ke lehernya. Bondan berhasil mengelak namun ujung kapak masih menyentuh pundaknya dan meninggalkan selarik luka menganga. Dengan keris yang tak lagi berada dalam genggaman, Bondan sungguh-sungguh merasa sangat sulit menempatkan kedudukan agar seimbang. Ia menyadari tubuhnya akan semakin lemah bila darah tak segera dihentikan. Namun begitu ia tidak berpikir untuk bergerak mundur atau menjauh sesaat meski luka di pundaknya mempengaruhi daya tahannya. Bondan berloncatan menghindar serangan sambil mencari jalan keluar ketika ikat kepalanya nyaris tidak mampu mengimbangi kapak Ki Cendhala Geni. Dalam kebingungan Bondan mencari jalan keluar, tiba-tiba Gumilang telah menerkam Ki Cendhala Geni.   (bersambung)
Tags :
Kategori :

Terkait