Oleh: Dahlan Iskan
Apakah negara yang BUMN-nya meniru Temasek pasti berhasil?
Malaysia lah yang semula ingin meniru Temasek Singapura. Maka dibentuklah Khazanah Nasional Berhad di sana.
Tapi belum semua BUMN Malaysia menyatu di Khazanah. Petronas, misalnya, tetap di luar Khazanah.
Hasil terakhirnya adalah (tahun 2019):
Aset Temasek: 306 miliar dolar.
Aset Khazanah: 18 miliar dolar.
Aset Petronas: 135 miliar dolar.
Khazanah —artinya: kekayaan-— tidak kunjung seperti Temasek. Bahkan terus tertinggal dari Petronas sendiri.
Belakangan Khazanah juga bermasalah. Ia dijadikan kendaraan oleh Perdana Menteri Najib Razak untuk mencari dana politik.
Maka terjadilah skandal keuangan terbesar dalam sejarah dunia. Tanpa holding yang sebesar Khazanah mungkin skandalnya tidak sebesar itu. Sampai merontokkan perdana menteri.
Tanpa skandal itu pun Khazanah tetap bukan kelas Temasek. Khazanah tidak kunjung mampu menyelamatkan anak-anak perusahaannya. Salah satunya Malaysian Airlines System. Sampai MAS berkali-kali disuntik uang negara. Toh tidak juga bisa keluar dari kesulitan menahun.
Apakah BUMN Indonesia harus meniru Temasek?
Begitulah umumnya opini publik. Sejak dulu. Pun saya. Ketika masih emosional dulu. Waktu itu saya pun pasti menjawab, ya!, kita harus tiru.
Temasek itu memang menggiurkan. Cerita-cerita yang kita baca adalah sisi wow-nya. Kerugian besarnya saat mencoba ekspansi ke Amerika Serikat tidak diberitakan.
Selalu saja berita tentang Temasek adalah sisi yang mengagumkan.
Dan memang Temasek mengagumkan.
Publik Indonesia umumnya hanya tahu bahwa kehebatan itu semata-mata disebabkan bentuk Temasek yang superholding. Bukan di bawah kementerian seperti kementerian BUMN.
Tapi apakah benar-benar karena itu Temasek bisa jaya? Sehingga kalau BUMN Indonesia juga di-superholding-kan otomatis akan maju?
Siapa pun akan menjawab tidak. Malaysia sudah mencoba. Dan sudah telanjur banyak juga yang memuji Khazanah. Tapi kita semua tahu Khazanah tidak bisa mengikuti kisah sukses Temasek.
Mengapa Temasek sukses? Itu tidak bisa dijawab dengan satu kiat: superholding. Kalau pun saya dipaksa untuk menjawab dengan satu kata, maka yang keluar dari otak saya adalah kata ini: rasional.
Rasionalnya, perusahaan itu harus diurus secara perusahaan. Bukan diurus dengan setengah perusahaan dan setengah politik.
Kalau pun ada politiknya jangan lebih 10 persen.
Tidak mungkin BUMN 100 persen bebas politik. Pun Temasek.
Siapa yang ditunjuk sebagai pimpinan puncak perusahaan BUMN pastilah ada unsur politiknya. Termasuk mengapa pimpinan puncak Temasek dipercayakan kepada madam Ho Ching.
Madam Ho Ching adalah istri perdana menteri Singapura Lee Hsien Loong. Bahkan sejak Ho Ching masih berstatus menantu Lee Kuan Yew.
Bagaimana pula madam Ho Chin bisa menduduki jabatan CEO Temasek begitu lama. Pasti ada bau politik. Sejak 2004 Ho Ching menjadi CEO. Berarti sudah 16 tahun.
Itu berarti Temasek itu stabil sekali. Kestabilan politik di Singapura adalah sumber dari kestabilan Temasek.
Perusahaan itu, rasionalnya, memang tidak boleh sering-sering ganti CEO. Perusahaan itu berbeda dengan birokrasi. Perusahaan memerlukan strategi jangka panjang. Yang harus secara konsisten dipegang.
Pemegang strategi yang terbaik adalah yang melahirkan strategi itu. Atau yang ikut merumuskan dan meyakini kebenaran strategi itu.
Kestabilan seperti itu yang tidak ada di BUMN Indonesia. Sumbernya, ya, ketidak stabilan politik. Bahkan ada BUMN besar yang dirutnya berganti tiga kali dalam dua tahun. Ada juga direksi baru yang pekerjaannya memperkarakan direksi sebelumnya. Bukan karena idealisme tapi hanya untuk menutupi kelemahannya.
Semua itu karena unsur politik lebih dominan di BUMN.
CEO BUMN memang ditentukan secara politik. Yakni ditentukan oleh pemerintah. Tapi di Temasek di bawah CEO, semuanya murni profesional. Sampai ke dirut-dirut perusahaan di bawahnya. Apalagi yang di bawahnya lagi.
Penentuan CEO-nya pun bukan semata-mata menantu atau istri. Tapi kapasitas yang diakui secara luas.
Saya bersyukur mengenal secara pribadi madam Ho Ching. Beberapa kali bertemu. Atau makan bersama. Atau bertukar e-mail. Sejak sebelum menjadi sesuatu.
Saya lihat sama sekali tidak ada 'bau politik' pada diri madam Ho Ching. Saya melihat tidak ada pengawalan saat dia datang untuk makan malam di sebuah restaurant di sebuah hotel. Tidak juga ada ajudan. Jauh dari kesan istri seorang perdana menteri.
Demikian juga kantornyi di kantor pusat Temasek: begitu simpel. Minimalis. Jauh dari kesan kantor seorang CEO Temasek yang kita bayangkan.
Rasanya madam Ho Ching itu kebetulan saja menantu Lee Kuan Yew atau istri perdana menteri. Aslinya dia memang orang pinter yang punya kemampuan manajerial dan tahu menghargai prestasi bawahannyi. Dia bukan tipe CEO yang selebriti.
Di tengah jalan, madam Ho Ching punya inisiatif untuk berhenti. Sudah diputuskan pula agar CEO Temasek berikutnya adalah profesional. Yakni pakar manajemen kelas dunia, sesuai dengan level baru Temasek.
Calon CEO baru itu berkebangsaan Amerika.
Tapi keputusan ini dibatalkan. Alasannya: Temasek itu juga mengurus cadangan devisa negara. Masak cadangan devisa negara dikelola oleh CEO yang warga negara asing.
Jadilah Madam Ho Chin tetap di jabatannyi.
Temasek itu secara teknis-hukum adalah perusahaan. Keputusan tertinggi ada di RUPS. Tapi kebijakan manajemen Temasek melampaui statusnya sebagai perusahaan. Temasek mempunyai kebijakan bahwa praktek manajemen dan keterbukaan keuangannya berkelas internasional.
Temasek mengikatkan diri pada konvensi-konvensi profesionalitas dan keterbukaan keuangan internasional.
Itu berarti auditnya tidak hanya dari lembaga auditor independen Singapura. Temasek juga terbuka untuk diaudit lembaga-lembaga manajemen dan keuangan yang tergabung dalam konvensi internasional itu.
Artinya: laporan keuangannya harus dibuka sampai sejauh itu. Demikian juga proses manajemennya —termasuk proses rekrutmen pimpinan perusahaan.
Setelah tahu begitu tinggi tingkat ptofesionalitas Temasek itu emosi saya pun turun. Apalagi setelah menyadari budaya kita kurang lebih sama dengan orang Malaysia.
Saya pun memilih untuk BUMN Indonesia sebaiknya campur tangan politik dulu yang dikurangi.
Holding-isasi perlu. Tapi untuk hanya ada satu holding BUMN rasanya masih terlalu jauh.
Katakanlah pemerintah kita mampu menyelesaikan pembentukan superholding itu lewat omnibus law. Tapi apakah campur tangan politik bisa hilang? Atau justru akan menjadi seperti Khazanah?
Bagi saya kalau bisa ada 17 holding saja sudah sangat baik. Menteri BUMN —kalau masih akan disebut menteri— hanya membina 17 perusahaan. Tidak sampai mengurus lebih dari 100 perusahaan seperti selama ini.
Tapi itu pun tidak terlalu penting. Yang penting adalah dibebaskannya dari pengaruh politik tadi. Ini 'dalam' sekali. Menyangkut UU Keuangan Negara —di mana kerugian BUMN merupakan kerugian negara. Juga menyangkut audit. Termasuk bagaimana sebuah perusahaan harus sering berurusan dengan DPR.
Waktu ada ide pembentukan holding dulu salah satu alasannya adalah: agar BUMN yang tergabung dalam holding berubah status menjadi anak perusahaan. Dengan demikian statusnya bukan lagi BUMN. Berarti terbebas dari proses politik.
Alasan itu gagal total. Perlakuan politik kepada anak perusahaan BUMN tidak ada bedanya dengan BUMN.
Maka pada dasarnya BUMN itu bukan perusahaan. Biar pun ada superholding kalau perlakuan politik kepada anak-anak superholding itu tidak berubah justru akan lebih buruk dari Khazanah.
Perusahaan yang tidak dikelola secara perusahaan adalah bukan perusahaan. Itulah BUMN. Pakai superholding atau pun tidak. (*)