Angka-angka itu datang bagai tetes hujan pertama: 2.900 bencana dalam setahun. Rata-rata 15 hingga 20 peristiwa setiap hari. Di balik statistik itu, ada sebuah negeri yang sedang bersiap menahan basah, menghela napas di antara langit yang makin kerap menggelap.
Tidak ada tempat yang benar-benar aman. Dari 514 kabupaten dan kota, lebih dari 150 tergolong risiko tinggi. Yang lain, sedang-sedang saja—sebuah eufemisme untuk keadaan yang sebenarnya tetap mengkhawatirkan. Kita hidup di tanah yang aktif bergerak, di mana air bisa menjadi ancaman sekaligus harapan. Dan kini, di musim penghujan, ia datang dengan dua wajah: pembawa kehidupan dan pembawa duka.
BACA JUGA:Generasi Muda dan Dompet yang Jebol
Mini Kidi--
Di Jawa Tengah, banjir baru saja merendam Semarang, Grobogan, Pati, Demak. Di Bekasi, genangan menenggelamkan jalan-jalan. Di Papua, banjir bandang meninggalkan duka yang lebih dalam: 15 nyawa melayang. Lalu kita diingatkan oleh Kepala BNPB: tanggap darurat hanyalah episode singkat. Yang lebih berat adalah sisa-sisa bencana: rumah yang retak, jembatan yang patah, jalan yang terbelah.
Kita seperti sedang dalam sebuah percakapan lama dengan alam yang tak pernah benar-benar tuntas. Setiap tahun, ritual yang sama: siaga, waspada, evakuasi, perbaikan. Lalu kita kembali pada rutinitas, sampai hujan berikutnya datang, dan siklus itu berulang. Seolah kita hanya mampu menunggu, merawat luka, lalu menunggu lagi.
BACA JUGA:Tepuk-Tepuk di Zaman Ruwet
Tapi bencana bukanlah sesuatu yang pasif. Ia adalah cermin—memantulkan bagaimana kita memperlakukan tanah, mengelola sungai, membangun rumah, merencanakan kota. Ketika banjir datang, ia tak hanya membawa air dari langit, tapi juga cerita tentang tanah yang tak lagi mampu menahan, tentang sungai yang menyempit, tentang beton yang menggusur resapan.
Mungkin itu sebabnya rehabilitasi dan rekonstruksi sering terasa berat. Sebab yang kita perbaiki bukan hanya infrastruktur yang rusak, melainkan juga hubungan kita dengan alam. Membangun jembatan—seperti yang diresmikan di Desa Weton Kulon—adalah metafora yang tepat: upaya menyambung kembali yang putus, menjembatani yang terpisah.
BACA JUGA:Bencana Industrial
Namun, di tengah semua kerentanan ini, ada satu hal yang mungkin bisa kita pegang: bahwa musim penghujan selalu membawa pesan yang sama. Bukan tentang takdir, tapi tentang pilihan. Pilihan untuk bersiap lebih awal, memetakan risiko, melibatkan komunitas, merawat lingkungan. Sebab bencana mungkin tak bisa dihindari sepenuhnya, tapi kesiapsiagaan bisa mengubah duka menjadi ketangguhan.
Dan seperti kata Suharyanto, ini tentang kehadiran negara. Tapi lebih dari itu, ini tentang kesadaran kolektif—bahwa di negeri yang rawan ini, kita semua adalah penjaga satu sama lain. Di musim penghujan, di antara rintik dan badai, itu mungkin pelajaran paling penting yang bisa kita petik.