Beberapa hari lalu, polisi Surabaya menggerebek sebuah kamar hotel di kawasan Ngagel, hasilnya tiga puluh empat laki-laki ditangkap.
Pesta sesama jenis, katanya, dan dari hasil pemeriksaan, dua puluh sembilan di antaranya positif HIV. Berita itu seketika jadi santapan publik, tapi bukan karena keprihatinan, namun karena rasa ingin tahu, sehingga seolah manusia lebih suka menonton aib ketimbang mengobati luka.Mini Kidi-- Lalu muncul dua barisan komentar, tang pertama marah, berteriak soal moral, agama, dan kehancuran bangsa. Sedangkan yang kedua membela, mengingatkan bahwa orientasi seksual tidak bisa dipenjara. Kedua barisan sibuk di medan wacana, tapi lupa bahwa di tengah angka itu, ada manusia yang sakit, bukan hanya secara medis, tapi juga secara sosial. Memang pesta itu memang salah, namun bukan karena mereka gay, tapi karena mereka melanggar batas: pornografi, penyebaran penyakit, dan penyalahgunaan ruang publik. BACA JUGA:Negara atau Warga yang Kalah Tapi apakah menyapu mereka dengan stigma akan menyelesaikan masalah? Jawabnnya tidak. Sebab itu seperti menutup luka dengan debu, di mana tampak kering dari luar , tapi busuk di dalam. Surabaya bukan kota pertama yang menghadapi realitas ini, dan mungkin bukan yang terakhir, dan kota besar mana pun selalu punya sisi yang tidak ingin diakui. Di balik gemerlap kafe dan hotel, ada sunyi yang tak pernah dibicarakan, kesepian, penolakan, kehilangan arah moral, dan ruang publik yang tak mampu menampung dialog tentang seksualitas. BACA JUGA:Zakat ASN, Energi Perubahan Kota Surabaya Mungkin dalam hal ini kita semua ikut bersalah, karena terlalu sering menjadikan moral sebagai teriakan, bukan teladan. Negara lebih sibuk menutup lokalisasi ketimbang membuka ruang konseling, karena masyarakat lebih gemar menghakimi ketimbang memahami. Pesta itu hanyalah gejala, penyakitnya jauh lebih besar yakni kemunafikan sosial. Kita menolak bicara seksualitas di sekolah, tapi mencari sensasinya di dunia maya, dan kita menutup tempat prostitusi, tapi membuka ribuan akun anonim untuk hal yang sama. Surabaya seharusnya belajar dari ini, bahwa penyakit tidak bisa dibasmi dengan razia, tapi dengan edukasi, bahwa moral bukan slogan, tapi kesadaran yang tumbuh dari empati. BACA JUGA:Antara Keseimbangan Data dan Hidup Nyata Bahwa manusia, siapa pun dia tetap punya hak untuk sembuh, bukan sekadar diadili. Karena kalau terus begini, mungkin bukan mereka yang sakit, tapi kita semua oleh moralitas yang kehilangan kasih, dan hukum yang kehilangan hati.