MAHASISWA. Kata itu selalu identik dengan intelektual, pemikir muda yang kritis, inovatif, dan berani menyuarakan kebenaran. Kampus seharusnya menjadi tempat berkembangnya ide, diskusi sehat, dan persahabatan. Namun, ironisnya, intelektual pun tidak kebal dari bullying.
BACA JUGA:Mereka yang Tak Kembali
Kasus TAS (22), mahasiswa Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (FISIP) Universitas Udayana, Bali, membuktikan itu. Ia menjadi korban tragis. Setelah diduga menjadi sasaran perundungan atau bullying dari sesama mahasiswa, TAS nekat mengakhiri hidupnya dengan melompat dari lantai gedung fakultas. Nyawa hilang. Kesedihan mendalam dirasakan keluarga, teman, dan tentu seluruh civitas akademika.
BACA JUGA:Cangar atau Sangar, Bedanya? Nyawa
Yang lebih mengejutkan adalah respons kampus. Para mahasiswa yang diduga melakukan bullying hanya mendapatkan sanksi administratif: pengurangan nilai softskill selama satu semester. Hanya satu semester. Sedangkan nyawa mahasiswa yang menjadi korban hilang. Ironisnya, satu angka di lembar akademik dianggap cukup sebagai “keadilan”. Bukankah nyawa dan keselamatan mahasiswa jauh lebih penting daripada angka di transkrip?
BACA JUGA:Tepuk Tangan untuk Janji Suci
Wakil Ketua Komisi III DPR RI, Dede Indra Permana Soediro, menegaskan bahwa kasus perundungan tidak boleh lagi terjadi di dunia pendidikan. Polresta Denpasar diminta mengkaji secara menyeluruh apakah ada unsur pidana dalam kejadian ini. Kronologi kejadian, mekanisme supervisi kampus, dan kondisi lingkungan pendidikan harus diperiksa dengan benar dan transparan. Tak cukup hanya melihat ini sebagai kecelakaan atau insiden biasa.
BACA JUGA:ASN Naik Gaji, Warkop Naik Omzet
Di sisi lain, Menteri Pendidikan Tinggi, Sains, dan Teknologi, Brian Yuliarto, mengaku kaget sekaligus prihatin mengetahui mahasiswa Universitas Udayana tewas bunuh diri karena dibully. Ia menegaskan bahwa kampus harus menjadi tempat aman dari tindakan kekerasan.
BACA JUGA:Suro Boyo vs Ayam Jago
Kasus TAS adalah cermin kelam bagi pendidikan tinggi kita. Kampus yang seharusnya menjadi “rumah intelektual” justru bisa menjadi “arena teror” bagi mahasiswa yang lemah, sensitif, atau berbeda. Bullying bukan sekadar persoalan moral atau etika, tetapi menyangkut keselamatan manusia. Nyawa yang hilang adalah peringatan keras: lingkungan kampus yang tidak aman bisa meruntuhkan intelektual muda yang paling berpotensi.
BACA JUGA:September Kelabu
Lebih dari itu, kasus ini menimbulkan pertanyaan mendasar: apa tujuan pendidikan tinggi? Apakah hanya mengejar angka, nilai, dan ijazah, atau juga mendidik manusia menjadi dewasa, empatik, dan bertanggung jawab secara sosial? Jika seorang mahasiswa intelektual bisa menjadi korban bullying hingga kehilangan nyawa, maka sistem pendidikan kita harus dievaluasi secara menyeluruh. Supervisi akademik, pendampingan psikologis, hingga pendidikan karakter tidak boleh dianggap tambahan. Ia harus menjadi bagian dari inti pendidikan.
BACA JUGA:Mulutmu Harimaumu
Ironi lain muncul dari reaksi masyarakat. Banyak yang menekankan pentingnya hukuman bagi pelaku bullying, tetapi jarang yang menyadari bahwa pencegahan jauh lebih penting. Sanksi administratif yang terbatas tidak cukup. Pendidikan karakter, pendidikan empati, dan pemahaman tentang dampak psikologis bullying harus diajarkan sejak dini, bahkan di tingkat perguruan tinggi.