Oleh: Yuli Setyo Budi, Surabaya
Mala jengkel. Kok cik enthenge Wahyu menawari dirinya dengan nada seperti itu. Ini seks lho. Kenikmatan surgawi yang diturunkan Yang Mahakuasa ke bumi. Huh terlalu. Tidak ada romantisme. Tidak ada kemesraan. Mala diperlakukan seperti anak kecil yang baru turun dari dermulen.
Mala langsung infil. Sejak itu dia memandang suaminya tidak lebih dari pekerja seks. Tukang seks. Tukang yang dibayar untuk melakukan tugasnya. Cuma, kali ini Mala mendapat jatah gratisan sebagai istri.
Makanya, Wahyu melakukan tugas sekadarnya. Asal-asalan. Asal pasangan puas. Asal pasangan mencapai puncak. Kalau belum yang diulangi. Gitu aja kok repot. Itulah yang dirasakan Mala.
Karena masih pengantin baru, Mala yang masih demen-demen-nya ngeseks merasa memerlukan sentuhan Wahyu. Namun, lambat laun hal itu dirasakan semakin menekan naluri kewanitaannya. Mala merasakan dirinya diperlakukan tak lebih dari pemakai jasa seks. Nggilani.
Mala yang dulu sempat bermimpi menikah dengan lelaki yang penuh perhatian dan kasih sayang harus membuang jauh-jauh impian itu. Wahyu adalah sosok watu. Watu item. Dingin dan nyaris tidak mau tau dengan orang lain.
Selama menikah dengannya, sekali pun Mala tidak pernah diajak keluar rumah untuk sekadar makan malam di luar. Nonton. Atau jalan-jalan di Taman Bungkul. Sama sekali tidak pernah.
Di rumah saja, kerja Wahyu hanya tidur dan fitness. Pukul 10.00 tet dia sudah disibukkan urusan sebagai instruktur senam. Baik di rumah maupun memenuhi panggilan klien.
Setiap hari Wahyu melatih senam di sanggar yang dibangun di samping rumah. Sejak pukul 10.00 hingga pukul 12.00. Di luar itu, Wahyu melayani panggilan. Ada yang kelompok, namun tidak jarang yang pribadi. Personal. Biasanya yang minta dilatih secara personal adalah wanita-wanita karier muda atau istri-istri pejabat. Sosialita.
“Jujur saja, Mbak Mala sempat cemburu kepada istri-istri pejabat itu. Mereka endel-endel. Genit,” kata Eli, yang mengaku dirinya sendiri juga memiliki perasaan yang sama. Sejak Mala menikah, Eli memang ikut tinggal serumah dengan saudara sepupunya itu di Surabaya. Eli kuliah di perguruan tinggi negeri kawasan Surabaya Barat.
Saking jengkelnya terhadap emak-emak tadi, Eli mengaku pernah nekat ngikutin salah satu dari mereka, yang sepulang senam privat di rumah, menunjukkan gerak-gerik mencurigakan.
Benar. Seperti dugaan Eli, wanita ber-make up murup itu janjian dengan Wahyu. Mereka sepakat ketemu di ujung jalan. Wahyu menunggu di balik pohon. Begitu mobil wanita murup tadi melintas dan berhenti sejenak, Wahyu segera masuk.
Eli yang membawa motor mengikuti dari belakang. Ternyata mobil sosialita tadi mengarah ke Jalan A Yani, terus lurus ke selatan. Arah Sidoarjo. “Aku kira mereka bakal masuk tol, karena di bundaran Waru sempat belok ke kanan,” kata Eli.
Ternyata mereka hanya mengitari bundaran, terus bablas ke selatan. Entah apa maksudnya pakai puter-puter segala. Tetapi tidak ke arah Kota Sidoarjo, mobil banting setir ke kiri begitu sampai Aloha.
“Masa mereka ke Juanda? Tapi, mau ke mana? Masa ke Singapura?” Dibatin begitu, tiba-tiba mobil berkelok ke sebuah hotel. Sliut… Eli mengikuti. Ternyata mereka memesan kamar. (bersambung)