Surabaya, Memorandum.co.id - Covid 19 adalah ujian besar bagi bangsa Indonesia, termasuk media massa kita. Informasi dari pemerintah sebagai dasar peliputan awal, ternyata bersumber dari gagalnya upaya membuat objectif
“Media memilih sikap, tidak menyebarkan berita ketakutan bagi warga yang artinya menghide informasi, atau menyampaikan apa adanya. Yang artinya berpotensi menyebar ketakutan,” kata Sapto Anggoro, CEO Tirto.ID, keynote speaker dalam forum bertajuk ‘Media Menyikapi Pandemi’, webinar yang digagas Ikatan Keluarga Alumni Sekolah Tinggi Ilmu Komunikasi Almamater Wartawan Surabaya (IKA Stikosa-AWS) bersama Dinas Komunikasi dan Informatika Pemerintah Provinsi Jawa Timur (Kominfo Jatim), Kamis (23/4/2020).
Dalam diskusi yang gelar via ZOOM ini, Sapto juga memaparkan kemungkinan lain. “Memberitakan lemahnya pemerintah dianggap anti, memberitakan yang baik-baik malah menegasikan fakta,” katanya.
Sehingga dalam praktek pemberitaan, media akhirnya bersikukuh memegang UU Pers 40/99 pasal 3 ayat 1, yakni ‘Pers nasional mempunyai fungsi sebagai media informasi, pendidikan, hiburan, dan kontrol sosial. Dan berpegang pada pedoman Dewan Pers, AJI, AMSI, dan lain-lain.
“Dalam kondisi demikian, lalu lintas informasi juga diperburuk dengan hadirnya hoax. Masih beruntung masyarakat kita banyak yang memilih media arus utama sebagai rujukan, seperti CNN, detik.com, tirto.id, dan masih banyak lagi,” kata alumnus Stikosa AWS ini.
Dari derasnya informasi tentang Covid-19, jelas Sapto, media online sesungguhnya dapat ‘berkah’ tersendiri. Yakni traffic website yang naik rata-rata dua kali lipat. Tapi tak berbeda dengan nasib pengusaha di sektor lain, lembaga media juga babak belur gara-gara iklan yang minim.
“Banyak pengusaha tidak beriklan karena trend perusahaan periklanan justru turun.
Dilema, di saat situasi serba sulit, pers tak cuma harus memberi info benar, tapi biaya naik, pemasukan kecil,” sesal Dewan Pakar IKA Stikosa-AWS ini.
Dalam kondisi demikian, Sapto pun ingat kata-kata Yuval Noah Harari, sejarahwan penulis buku ‘Sapiens: A Brief History of Humankind (2014)’ dan ‘Homo Deus : A Brief History of Tomorrow (2015)’, dunia butuh pemimpin baru. “Atau ini ujian kepemimpinan, di segala bidang, termasuk pengelolaan media,” pungkasnya.
Masih tentang media dan Covid-19, Iman D. Nugroho, Koordinator Liputan CNN Indonesia TV, juga menggaris bawahi kenyataan jika dalam penanganan Covid-19, pemerintah masih terkesan belum serius.
“Jika ada kesan media massa kita tidak siap dalam pemberitaan, ya karena pemerintah tidak serius,” tegas alumnus Stikosa AWS ini.
Ia menjelaskan, media memang sangat tergantung pada keseriusan pemerintah dalam penanganan Covid-19. Karena informasi tentang Covid19 selama ini memang dari pemerintah. Bahkan boleh dibilang satu-satunya sumber.
“Ketika pemerintah tidak serius, media pun tidak bisa mengukur urgensi dari kondisi penanganan, termasuk statistik penderita,” kata Iman.
Pemberitaan terkait Covid-19 dimulai dari heboh pasca tiga orang Depok yang dirawat karena Covid. Lalu lembaga media mulai membuat protokol peliputan wabah. Termasuk penggunaan masker, sarung tangan, dan mengkonsumsi vitamin C gratis dari kantor.
Di CNN, kata Iman, ada kebijakan secara institusi, baik CNN com, maupun TV, agar membatasi jumlah SDM yang masuk. Mereka dikelompokkan dalam cluster-cluster.
“Juga dilakukan deep cleansing di kantor redaksi. Bahkan kami sampai pindah ruangan,” tambahnya. Di luar itu dalam tubuh redaksi juga dilakukan strategi tidak melakukan liputan tatap muka. Semua wawancara dilalukan secara online.
Di akhir sesi, Iman justru bertanya, “Sampai kapan media akan bertahan dengan kondisi ini?”
Selain Iman dan Sapto, hadir pula nara sumber Benny Sampirwanto (Kepala Dinas Kominfo Jatim) dan Joko Tetuko (Ketua Komisi Informasi Jatim 2010 – 2014). Sebagai moderator, Noor Arief Kuswadi (Kabid Almamater dan Kemahasiswaan IKA Stikosa-AWS, Jurnalis Senior Harian Memorandum). (rif/gus)