3. Kompensasi Finansial: Selain tuntutan pidana, pihak yang dirugikan juga berhak menuntut kompensasi finansial untuk menutupi kerugian yang dialami, termasuk biaya operasional yang tidak terselesaikan, pengembalian dana kepada klien, serta pemulihan reputasi bisnis.
Ghosting dan blokir dalam konteks pembentukan perusahaan tidak hanya tindakan yang tidak etis, tetapi juga bisa melibatkan pelanggaran hukum yang serius.
Ketika salah satu pihak dalam perjanjian bisnis menghilang dan memutus komunikasi tanpa memenuhi kewajiban yang disepakati, hal ini bisa dianggap sebagai wanprestasi, dan dalam beberapa kasus, bisa dituntut sebagai penipuan jika terbukti ada niat untuk menipu sejak awal.
Pihak yang dirugikan oleh tindakan ghosting dan blokir memiliki hak untuk menuntut pelaku, baik melalui jalur perdata atas dasar wanprestasi, maupun melalui jalur pidana atas dasar penipuan.
Pelaku yang menghilang tanpa memenuhi kewajiban bisnisnya dapat menghadapi hukuman penjara, denda, serta kewajiban untuk membayar ganti rugi kepada pihak yang dirugikan.
Dengan memahami bahwa ghosting dan blokir dalam bisnis memiliki implikasi hukum yang serius, sangat penting bagi pelaku bisnis untuk menjalankan kewajiban kontraktual mereka dengan itikad baik dan menjaga komunikasi yang terbuka hingga semua tanggung jawab diselesaikan.
Analisis Hukum Ghosting dan Blokir dalam Hubungan Pribadi
Ghosting dan blokir dalam hubungan pribadi, terutama ketika melibatkan kewajiban finansial, janji, atau tanggung jawab hukum lainnya, dapat membawa konsekuensi hukum yang serius.
Dalam hukum Indonesia, berbagai aturan mengatur hak dan kewajiban individu dalam konteks hubungan pribadi, baik dalam pacaran, pernikahan, maupun hubungan keluarga. Ketika salah satu pihak menghilang secara sepihak dan memblokir akses komunikasi tanpa menyelesaikan kewajiban mereka, tindakan tersebut dapat dianggap sebagai pelanggaran hukum.
1. Ghosting dan Blokir dalam Hubungan Pacaran: Penipuan dan Manipulasi Finansial
Ghosting dalam hubungan pacaran yang melibatkan manipulasi finansial bisa dikategorikan sebagai penipuan menurut Pasal 378 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP). Pasal ini secara spesifik mengatur tentang penipuan, dengan rumusan sebagai berikut:
"Barang siapa dengan maksud untuk menguntungkan diri sendiri atau orang lain secara melawan hukum, baik dengan menggunakan nama palsu atau martabat palsu, ataupun dengan tipu muslihat, maupun dengan rangkaian kebohongan, menggerakkan orang lain untuk menyerahkan sesuatu barang kepadanya atau supaya memberi hutang ataupun menghapuskan piutang, diancam karena penipuan, dengan pidana penjara paling lama empat tahun."
Jika salah satu pihak dalam hubungan pacaran menerima dukungan finansial—misalnya uang, barang, atau hadiah lainnya—berdasarkan janji untuk melanjutkan hubungan ke jenjang pernikahan, namun setelah menerima keuntungan finansial tersebut tiba-tiba memblokir semua akses komunikasi dan menghilang, maka tindakan ini dapat memenuhi unsur penipuan sesuai dengan Pasal 378 KUHP. Pihak yang dirugikan berhak mengajukan laporan kepada pihak berwenang dan menuntut pelaku atas dasar penipuan, karena tindakan blokir memperlihatkan niat untuk menghindari pertanggungjawaban.
2. Ghosting dan Blokir dalam Pernikahan: Pengabaian Kewajiban Nafkah dan Hak Asuh Anak
Dalam konteks pernikahan, kewajiban terhadap pasangan dan anak-anak diatur oleh Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan. Pasal 34 ayat (1) UU tersebut mengatur bahwa:
"Suami wajib melindungi istrinya dan memberikan segala sesuatu keperluan hidup berumah tangga sesuai dengan kemampuannya."