Yuli Setyo Budi, Surabaya Ustaz yang ditunggu-tunggu para jemaah ternyata sudah sangat dikenal Liting. Dia adalah paman Ningsih. Namanya sebut saja Sidiq. Dua kali mereka bertemu, yaitu kala Liting ngapeli Ningsih di kos-kosannya di kawasan Tenggilis. Setelah bersalam-salaman dan berbasa-basi, mereka berpindah tempat dari selasar masjid menuju ruang utama. Kesempatan tersebut dimanfaatkan Liting untuk pamit buang air. Saat Liting kembali dari kamar kecil, ternyata kajian sudah dimulai. Di dalam jemaahnya cukup banyak. Yang dibahas adalah kebiasaan-kebiasaan di masyarakat yang berbau syirik. Waktu itu Sidiq menjelaskan kebiasaan masyarakat yang masih sering nyambat bila hendak melewati jalan-jalan yang dianggap angker, “Nuwun sewu, Mbah. Putune bade langkung, sampun diganggu nggih.” Menurut Ustaz Sidiq, “Siapa yang dimintai izin. Penunggu jalan? Siapa penunggu jalan itu? Hantu? Hantu itu tidak ada. Yang ada mungkin jin. Tapi ingat, manusia jauh lebih bermartabat dari jin. Masa kita takut jin?” Ustad lantas merinci beberapa kebiasaan di masyarakat yang berbau syirik. Salah satu yang paling akbar adalah kirab pusaka yang digelar Keraton Kasunanan Solo pada 1 Suro setiap tahun. Pada kirab tersebut, barisan terdepan atau cucuk lampah-nya adalah pusaka yang dianggap paling digdaya atau sakti. Namanya Kiai Slamet. Tapi, jangan mengira Kiai Slamet adalah sosok ulama kharismatik dengan tampilan religius. Kiai Slamet adalah seekor kerbau bule dengan kulit putih kemerah-merahan. Yang mengherankan, masih ada saja orang yang percaya bahwa kotoran Kiai Slamet memiliki tuah. Makanya, tak mengherankan bila mereka rela berebut kotoran tadi untuk dibawa pulang. Untuk dialap berkahnya, karena kotoran tadi dinilai memiliki khasiat tertentu. “Padahal kalau mau, masyarakat bisa mengambil kotoran kerbau tersebut di luar kirab. Ngapain harus berebut? Tapi, hal itu tidak pernah mereka lakukan. Ini aneh. Memang, di sinilah kita dijebak iblis untuk mempercayai kekuatan di luar kuasa Allah.” Liting dengan seksama mengikuti kajian. Sebubar acara, ditemani beberapa jemaah yang tadi menyambutnya, Liting bertemu ustaz. Bahkan, merekalah yang menyampaikan maksud Liting. Pemuda tersebut hanya diam menahan rasa malu. “Nak Liting tidak usah malu. Mereka adalah saudara. Saudara seiman,” kata Sidiq, yang dijawab dengan anggukan. Di hadapan para jemaah tadi, Sidiq menyampaikan kekagumannya terhadap Liting yang tidak pernah lelah mencari ilmu dan kebenaran. Sepengetahuannya, sejak diberi syarat oleh kakaknya bila serius ingin menikahi keponakannya, Liting terus berusaha melaksanakannya. Liting terus berpindah-pindah berguru dari satu kiai ke kiai lain, dari ustaz ke ustaz lain untuk membenahi cara salatnya agar sesuai yang dilakukan Rasulullah. Liting juga membenahi bacaan dan hafalan Alqurannya. Dia sepertinya tidak mau sehuruf pun dikoreksi (bakal) mertuanya nanti. “Coba Mas Hanif dampingi dia,” kata Ustaz Sidiq kepada pemuda yang sempat menggoda Liting. Pemuda tersebut ternyata hafiz lulusan Maroko. (habis) (Pembaca yang punya kisah menarik dan ingin berbagi pengalaman, silakan menghubungi nomor telepon/WA 082131242288. Bisa secara lisan maupun tulisan. Kisah juga bisa dikirim melalui email yulisb42@gmail.com. Terima kasih)
Keliling Menimba Ilmu, Bertemu Paman Calon di Masjid Wiyung
Kamis 21-02-2019,09:21 WIB
Editor : Agus Supriyadi
Kategori :