Yuli Setyo Budi, Surabaya Pesan Bu Nyai: semua peluang bisa ditembus dengan doa. Dan, doa adalah senjata orang mukmin. Seberapa besar daya tembus doa tadi, itu bergantung pada siapa yang memanjatkannya. Bu Nyai yakin kalau melihat ketaatan dan kesungguhan Dijah dalam beribadah, daya tembus doanya pasti sangat besar. Pasti mudah dikabulkan. Makanya Bu Nyai meminta Dijah tidak berputus asa, Lebih bertawakal kepada Allah. Dorongan semangat dari Bu Nyai mampu membendung air mata Dijah yang selalu hendak tumpah setiap mendengar nama Azam. Mampu membentengi hati dari deraan kesedihan. “Aku diminta Bu Nyai rajin berselawat Nabi setiap pagi dan sore. Juga, membaca surat-surat Alquran setelah Tahajut. Dan tentu saja: tidak pernah lelah memanjatkan doa,” tutur Dijah. Semua saran itu dijalani Dijah dengan rajin dan ikhlas. Namun, suatu saat jantung Dijah mendadak seperti copot ketika muncul undangan pernikahan dari keluarga Azam. Undangan yang ditujukan kepada Bu Nyai itu menyebutkan pernikahan Azam vs calon istrinya bakal digelar dua minggu mendatang. Dijah yang kebetulan sedang mengaji bersama Bu Nyai turut membaca undangan tadi. Mendadak tangisnya pecah. Tubuhnya ambruk. “Nyai…” tutur Dijah sebelum pingsan di pangkuan Bu Nyai. Perempuan sepuh itu tak mampu berucap. Dia hanya bisa mengelus tubuh Dijah dan meminta teman-teman Dijah membopong tubuh gadis ini ke kamar Bu Nyai. “Sudah titik, Nyai,” begitu tutur Dijah lemah begitu siuman. Bu Nyai dengan spontan menempelkan jari telunjuknya ke bibir Dijah. Hal itu dilakukan sambil tersenyum dan menggelengkan kepala. Dijah menyipitkan mata dan bertanya, “Maksud Nyai?” Pada hari H, Bu Nyai bersiap-siap berangkat memenuhi undangan. Dijah diajak tapi menolak. Alasannya, badannya sedang tidak enak. Bu Nyai tidak memaksa dan hanya berpesan agar gadis yang dia sayangi itu selalu menjaga diri. Bu Nyai tahu Dijah hampir tak kuat menahan air mata yang hendak tumpah. Tapi, Bu Nyai berusaha tersenyum untuk menguatkan hati Dijah. Sampai di tempat resepsi, undangan sudah hampir memenuhi kapasitas gedung. Bu Nyai memilih duduk di barisan belakang. Gending Jawa berkumandang menanti pengantin masuk ruangan. Tiba-tiba… pet! Lampu mati. Suara gending berubah menjadi riuh oleh jerit suara wanita. Tapi, itu tak lama. Semenit kemudian lampu kembali nyala. Suara gending mengalun lagi. Namun, kali ini dibarengi suara genset yang bising. Pengantin masuk. Mereka lantas duduk berdampingan di pelaminan, diapit oleh kedua pasangan orang tua masing-masing. Belum lama suasana tenang itu tercipta, tiba-tiba pengantin putri terpeleset jatuh dari kursi. Suara jeritnya mengalahkan suara-suara di sekitarnya. Darah segar mengalir sangat deras melalui kedua kaki pengantin putri. Suasana kacau. “Pengantin putri keguguran,” batin Bu Nyai. Kalimat-kalimat hampir sama terdengar dari sekitar, “Pengantin putri hamil?” Bu Nyai tertegun. Dia memastikan kehamilan pengantin putri pasti bukan hasil karya Azam. Mungkin hasil pergaulannya di Amerika. Dia juga yakin ayah Azam akan membatalkan perkawinan karena kasus ini. Atau, Azam menceraikan perempuan yang baru dinikahinya itu. Pasti! “Masih ada peluang, Dijah,” gumam Bu Nyai lirih, seperti ditujukan kepada diri sendiri. (habis)
Pengantin Putri Keguguran, Bu Nyai: Masih Ada Peluang, Dijah
Senin 18-02-2019,09:05 WIB
Editor : Agus Supriyadi
Kategori :