Mesin dan Kematian
Fatkhul Aziz--
Sebuah percakapan di grup WhatsApp yang saya ikuti, seperti banyak percakapan lainnya, terasa ringan. Tentu saja, temanya tak main-main: AI (artificial intelligent) alias kecerdasan buatan, atau akal imitasi, kalau mau kita terjemahkan secara harafiah. Seorang kawan berujar, "AI yang parah, justru menunjukkan kapasitas kritik yang tidak cuma mengandalkan penguasaan teori." Maksudnya barangkali, mesin ini tak lagi butuh referensi untuk mengkritik; ia bisa memreteli argumen, menemukan celah, tanpa perlu membaca tumpukan buku tebal. Semacam Francis Fukuyama dengan "akhir sejarah"-nya, tapi kali ini, sejarah pengetahuan.
Lalu percakapan itu merembet: mesin, kata seorang yang lain, lebih akrab dengan kapitalisme daripada sosialisme. Ini masuk akal. Kapitalisme adalah soal efisiensi, akumulasi, dan penghitungan. Mesin, dengan algoritmanya yang dingin, adalah alat sempurna untuk itu. Sebuah kampus, jika tidak bergegas, bisa jadi bubar, sebab mahasiswa kini, kata kawan itu, tak lebih dari machine learning: dilatih untuk mengolah data, mengulang informasi, tanpa benar-benar meresapi.
BACA JUGA:Anggota Pilihan

Mini Kidi--
Saya mencermati percakapan itu, pikiran melayang. Kawan lain menimpali, "kritik model Ignas Kleden jadi terlalu mudah di zaman AI." Betul, rasanya. Cara kerja intelektual yang teliti, merunut dari A sampai Z, kini bisa dilahap dalam sekali prompt. Lalu, ada yang mengingatkan pada Walter Benjamin: "hilangnya seni auratik". Sebuah lukisan orisinal, selembar foto lama yang memudar, punya “aura”—sesuatu yang tak bisa direplikasi. Tapi AI, dengan kemampuannya menciptakan gambar baru yang sempurna, membuat aura itu sirna. Mungkin, hanya sedikit orang yang masih punya persepsi transenden, yang bisa melihat melampaui data. Konon, hanya bahasa metafisika yang tak bisa dijamah AI, sebab ia tak tunduk pada gramatika yang rigid. Ah, semua gara-gara bahasa.
Pikiran saya terus berputar, mengulang-alik percakapan itu. Teknologi, seperti halnya percakapan di WhatsApp, seakan-akan menjadi jalan hidup baru. Semua persoalan, semua pertanyaan, kini terasa seperti permainan bahasa. Ada pertanyaan, pasti ada jawaban. Ada masalah, pasti ada solusi.
BACA JUGA:Tarian Pacu Jalur Melaju Istana
Tapi kemudian, saya tersentak. Di depan mata, saya harus mengedit sebuah berita. Tentang seorang mahasiswi di Surabaya, yang ditemukan tak bernyawa. Gantung diri. Ada secarik surat permintaan maaf. Polisi menduga karena LDR, hubungan jarak jauh.
Berita ini, bersama tumpukan berita lain—perayaan Agustusan, kenaikan gaji anggota dewan, hingga hasil tes DNA—seperti menimbun dan tertimbun dalam ingatan.
Saya berhenti sejenak. Pikiran kembali pada percakapan tentang AI. Mengapa mahasiswi itu tidak bertanya saja pada akal imitasi? Mengapa ia tak memanfaatkan teknologi untuk mencari solusi? Tentu, pasti ada jawabannya. Pasti ada kalimat-kalimat yang bisa menenangkan, yang bisa membukakan jalan keluar.
BACA JUGA:Rumah Tangga Bukan Sekadar Cinta, Tapi Juga Komitmen & Hukum
Namun, di situ pula saya terdiam, terguncang. Mungkin, memang tidak semua ada jawabannya. Mungkin, ada persoalan yang tak bisa dipecahkan oleh gramatika manapun, oleh algoritma secanggih apapun. Di situlah hidup bekerja, barangkali, di antara bahasa yang tak terucapkan, di antara jawaban yang tak pernah ada. Di situ, di mana teknologi yang paling canggih pun akhirnya tunduk pada misteri yang paling sederhana: kesunyian hati manusia.
Sumber:



