Konflik Agraria Memanas di Surabaya, Wakil Ketua DPRD Soroti Lambannya Penyelesaian Sengketa
Wakil Ketua DPRD Kota Surabaya, Arif Fathoni. -Arif Alfiansyah-
SURABAYA, MEMORANDUM.CO.ID - Meningkatnya konflik agraria di Kota Surabaya menjadi perhatian serius Wakil Ketua DPRD Kota Surabaya, Arif Fathoni. Ia menyoroti bahwa kenaikan harga tanah yang signifikan di kota pahlawan ini berbanding lurus dengan terbukanya peluang sengketa pertanahan.
BACA JUGA:Jadi Pembicara Kunci di Seminar Internasional Unair, Menteri AHY Ungkap Peranan Reforma Agraria
Arif Fathoni menyatakan bahwa tren ini merupakan sebuah kelaziman. "Jadi itu rumus yang lazim, ketika harga tanah naik maka peluang terjadinya konflik agraria juga makin terbuka lebar," ujarnya, Senin 14 Juli 2025.

Mini Kidi--
Menyikapi hal tersebut, politisi dari Partai Golkar ini mengimbau masyarakat pemilik tanah di Surabaya untuk tidak hanya mengandalkan dokumen yuridis semata. Menurutnya, penguasaan fisik atas tanah menjadi kunci penting untuk mencegah penyerobotan oleh pihak lain, baik itu korporasi maupun badan usaha milik negara (BUMN).
"Warga pemilik tanah di samping memiliki dokumen yuridis, juga harus melakukan penguasaan fisik atas tanah. Bisa dilakukan pemagaran, pemasangan papan nama, dan lain-lain sebagainya, sehingga tanah yang dimiliki tidak diakui atau diserobot oleh pihak lain," tegasnya.
Dalam praktiknya, DPRD Kota Surabaya sering menerima pengaduan dari masyarakat yang dirugikan. Salah satu kasus yang kerap muncul adalah tumpang tindih kepemilikan, di mana tanah warga yang masih berstatus Petok D tiba-tiba telah terbit sertifikat hak milik (SHM) atas nama orang lain.
BACA JUGA:Menteri AHY Beberkan Peranan Reforma Agraria Capai Tujuan Pembangunan Berkelanjutan di 2030
Fathoni menjelaskan bahwa hukum di Indonesia menganut stelsel positif, yang berarti sertifikat hak milik dianggap sah oleh negara hingga ada putusan pengadilan yang menyatakan sebaliknya. Namun, proses peradilan perdata yang harus ditempuh warga untuk mencari keadilan dinilai sangat panjang dan menguras energi serta biaya.
"Problemnya, tata cara beracara hukum perdata kita itu kan terlalu melelahkan untuk ukuran para pencari keadilan yang kurang beruntung dari sisi ekonomi," ungkapnya.
"Ada proses peradilan tingkat pertama yang memakan waktu paling cepat 6 bulan, terus kemudian ada mekanisme banding, kasasi, hingga peninjauan kembali yang itu cukup menguras energi dan pikiran, " tambahnya.
BACA JUGA:Kementerian Agraria Bentuk Tim Khusus Inventarisir Tanah Ijo
Untuk mengatasi kebuntuan ini, Arif Fathoni mendorong Badan Pertanahan Nasional (BPN) di Surabaya, baik BPN 1, BPN 2, maupun Kanwil BPN Jatim, untuk lebih proaktif. Ia berharap bidang sengketa di BPN dapat mengambil diskresi dengan menelaah buku warkah tanah untuk melihat riwayat peralihan hak tanpa harus menunggu putusan pengadilan yang inkracht.
"Mereka itu kan punya bidang namanya bidang sengketa. Saya berharap di momen-momen tertentu ketika ada sengketa agraria antara warga dengan korporasi, mereka sebenarnya memiliki buku warkah. Dari situ kami berharap mereka mengambil diskresi," tuturnya.
Persoalan serupa juga terjadi ketika aset tanah warga yang sudah bersertifikat tiba-tiba tercatat sebagai aset Pemerintah Kota di Simbada (Sistem Informasi Manajemen Barang dan Aset Daerah), yang proses pencatatannya sudah berlangsung sejak lama. Pejabat saat ini pun enggan menghapusnya karena takut tersangkut masalah hukum.
Sebagai solusi jangka panjang, Cak Toni sapaan akrab Arif Fathoni berharap Mahkamah Agung (MA) dapat membuat surat edaran baru yang memungkinkan sengketa agraria antara masyarakat dengan korporasi dapat diselesaikan melalui mekanisme peradilan cepat.
Menurutnya, pertimbangan utamanya seharusnya adalah para pihak yang bersengketa, yakni masyarakat kecil vs korporasi besar, bukan semata-mata nilai kerugian materiel.
"Saya berharap Mahkamah Agung juga membuat surat edaran terhadap konflik agraria antara masyarakat dengan korporasi. Sebaiknya tidak melihat nilai kerugian yang disengketakan, tetapi bisa masuk dalam proses peradilan cepat karena melihat para pihaknya. Sehingga masyarakat bisa mencari keadilan dalam prinsip yang efektif dan waktu yang efisien," pungkasnya. (alf)
Sumber:



