Naik dan Naik
Moch Syaifuddin SS--
Mengawali tahun 2024, masyarakat mendapatkan kado istimewa dari pemerintah. Di saat harga-harga melambung tinggi, kini mereka dihadapkan dengan persoalan baru yaitu kenaikan pajak.
Ini termaktub dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2022 tentang Hubungan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah (HKPD) dan diterjemahkan oleh pemerintah daerah lewat perda.
Khusus di Surabaya sudah diterapkan Perda 7 tahun 2023 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah.
Kabar tak sedap lainnya adalah ada rencana pemerintah menaikkan pajak kendaraan bermotor bahan bakar minyak (BBM). Alasannya untuk subsidi transportasi publik.
Sebenarnya pajak di negeri yang katanya kaya raya ini luar biasa banyak macam pajak yang dikenakan kepada rakyat. Bahkan, membeli cabai pun sudah terkena pajak.
Mulai sekarang ada kenaikan pajak yang membuat masyarakat menjerit. Mereka yang habis berdarah-darah terkena dampak pandemi Covid-19, kini harus merogoh kocek yang cukup dalam di saat kantongnya semakin cekak karena pendapatan semakin berkurang.
Tentu tak elok pemerintah dengan berdalih menambah pendapatan untuk pembangunan. Untuk menambah dan menambal pendapatan yang bolong, pemerintah bisa melakukan penghematan dengan memangkas gaji, tunjangan, dan fasilitas yang terima para pejabat negara.
Untuk diketahui pengeluaran terbesar berada pada sektor tersebut. Di saat para pejabat mendapatkan pendapatan ratusan juta per bulan, di situ ada ratusan juta rakyat hanya mendapatkan pendapatan setara dengan UMK.
Sedangkan untuk pembangunan seharusnya memakai sistem skala prioritas dan tak asal bangun. Selain itu serapan anggaran harus habis ini yang kerap membuat anggaran boros dan terbuang percuma.
Akibatnya, seharusnya ada anggaran tersisa dan dihemat, karena anggaran harus habis itu maka menjelang akhir tahun, berbagai kegiatan yang tak perlu pun dilakukan.
Yang tak kalah penting lagi adalah memberantas dan memberangus korupsi. Tak bisa dipungkiri, korupsi di negeri ini sangat akut.
Masyarakat akan sukarela mengeluarkan uang ketika apa yang dikeluarkan itu sepadan yang diterima. Bukan sebaliknya, yang selama ini terkesan dinikmati para petinggi negeri.
Memang diakui penerimaan sektor pajak merupakan tiang utama dari banyak negara, termasuk Indonesia. Namun, ada banyak negara pula yang minim membebani pajak kepada rakyatnya.
Artinya apa? Pemerintah bisa menggali pendapatan dari sektor lain yang tidak harus membebani rakyatnya. Ini bisa didapatkan dari kekayaan alam yang cukup melimpah di Indonesia. Kemudian memaksimalkan kinerja badan usaha milik negara (BUMN).
Dan memang sebagai warga negara yang baik memang taat pajak. Sebaliknya, pemerintah yang baik adalah taat memberikan kemanfaatan kepada rakyat.
Jika hasil pajak tak memberikan kemanfaatan akan muncul pertanyaan dari rakyat, pajak itu untuk apa?
Karena mereka merasa tidak menikmati.
Rakyat melihat yang menikmati adalah mereka yang berdasi sambil duduk di kursi. Dan itu yang kini dipertontonkan kepada masyarakat. (*)
Sumber: