Gak Kober Kathok’an, kalau di Rumah Lebih Suka Sarungan
Yuli Setyo Budi, Surabaya Anehnya, meskipun sudah sering dikhianati istri, Ibra masih sekonyong-konyong koder cintanya kepada Nurul. Sempat marah sih iya, tapi hanya sekelebatan. Kala Nurul merajuk minta maaf, Ibra pasti luluh seperti lilin dipanggang di atas bara. Demikian juga pasca-Nurul digerebek warga sekamar dengan Sukoto, penghuni kos baru. Sekali lagi, setelah berkali-kali mengulangi kesalahan serupa, Nurul minta maaf. Dan, sekali lagi pula Ibra memberikan maaf. Sepertinya persediaan maaf lelaki penyabar ini tiada habis-habisnya. Celaka 13. Belum genap dua minggu, Nurul tepergok lagi. Kali ini warga sudah hilang kesabaran. Nurul bersama pasangannya diarak keliling kampung sebelum dibawa ke kantor polisi. Sepanjang jalan Nurul menangis. Ibra yang melihat arak-arakan itu dari jauh hanya bisa menitikkan air mata. “Aku akhirnya berpikir dia (Nurul, red) sudah tidak bisa ditata lagi. Aku harus bisa merelakannya,” kata Ibra saat ditemui di warung dekat PA. “Makanya aku di sini,” imbuhnya. Tapi, hampir sebulan setelah itu Memorandum tidak lagi pernah menemuinya di seputaran PA. Memorandum mencoba mencari Ibra di alamat yang pernah dia berikan kapan hari. Saat Memorandum memencet bel rumahnya, ternyata Ibra sendiri yang muncul. Dia bergegas mempersilakan masuk. Tidak lama kemudian muncul perempuan cantik. Bodinya wow… amat terawat. Kulit mukanya glowing dan terkesan kenyal. “Kenalkan, istriku,” kata Ibra. “Nurul,” sambung perempuan cantik tadi. Nurul? Wow… wow… wow… dahsyat. Makanya Ibra sulit melepaskan. Sekilas saja melihatnya rasanya tubuh seperti gringgingen, apalagi. “Buatkan kopi. Dua. Pahit,” kata Ibra sambil menepuk pantat Nurul. Heeemmm. “Jadi?” tanya Memorandum sambil memandang mata Ibra. Ibra membalas pertanyaan itu hanya dengan senyum. “Tampaknya aku harus mengurungkan niat menceraikannya. Kami sudah membuat kesepakatan,” kata Ibra tegas. Semudah itu? Seperti yang berkali-kali selalu dilanggarnya? Ibra menyatakan kali ini berbeda. “Kali ini dia kusumpah di bawah Alquran. Kalau melanggar lagi, tidak ada pilihan lain: dia (Nurul, red) aku cerai,” kata Ibra. Sejak disumpah, Nurul kelihatannya memang berubah. Dia lebih suka mengurung diri di kamar. Jarang sekali jagogan di ruang tamu atau teras. Apalagi bercanda dengan para penghuni kos. Nurul juga tidak lagi sering kya-kya bersama komunitas arisan. Sikapnya terhadap Ibra pun semakin mesra. Bila dulu jarang menawarkan kebersamaan, kini Nurullah yang justru lebih rajin mencolek Ibra untuk diajak berpiknik ke dunia wow. Ibra sampai kuwalahan. Boso Suroboyoane: gak kober kathok’an. Jadinya Ibra lebih suka sarungan kalau pas di rumah. Praktis, isis. Bila perangkat lunaknya mendadak dibutuhkan untuk diubah jadi merangkat keras, dia tinggal mengangkat ujung sarung, lantas set-set-wet (SSW). Seiring berjalannya waktu, Ibra baru menyadari tentang istrinya yang punya keistimewaan: doyan! Maniak. “Selama ini aku salah menyikapinya,” kata Ibra. Diakui Ibra, selama ini dia menganggap perempuan yang doyan begituan adalah perempuan yang rendah. Tidak memiliki harga diri. “Makanya setiap dia minta, aku selalu menghindar. Baru kalau aku butuh, aku meminta dia. Aku salah,” ucap Ibra. Lirih. Nurul keluar dari ruang tengah. Dia menunduk menurunkan cangkir-cangkir kopi seraya melempar senyum. Tak sengaja Memorandum memandang dadanya. Ah… sudahlah… (habis)
Sumber: