Matahari Terbit, Dunia Malam Arini Sudah Berakhir (3)
Arin mengaku punya pengalaman yang tidak terlupakan. Waktu itu Arin sudah kuliah dan sedang mengerjakan tugas di rumah teman cowok. Untuk menambah stamina dan semangat belajar, mereka sepakat ngluthuk bersama. Nyabu. Arin belum tahu ternyata ibunda temannya itu seorang polwan. Dia baru pulang kerja dengan pakaian dinas. Arin amat kaget. Mengira ada penggerebekan. Apalagi ibunda temannya itu tidak sendirian. Spontan dia kabur. Tanpa pamit. Lari sejauh-jauhnya. Kemudian bersembunyi di dalam got. Lama sekali. Hampir seharian. Arin tidak berani keluar karena mendengar suara sirine meraung-raung sepanjang siang hingga malam. Arin kebetheng dalam got. Tidak berani keluar. Jangankan keluar, mengangkat kepala saja tidak mampu. Takut. Setelah situasi di sekitar gelap. Sepi. Sunyi. Dan bunyi sirine sudah sangat lama tidak terdengar lagi, Arin berani muncul. Beberapa waktu kemudian Arin baru tahu bahwa polisi yang gruduk-gruduk ke rumah teman nyabu adalah ibunda temannya itu. Mereka mau rujakan untuk merayakan ulang tahun seorang teman polwan. Arin juga baru tahu bahwa sirine yang menerornya hampir seharian berasal dari mobil damkar dan ambulans karena terjadi kebakaran dahsyat tidak jauh dari tempatnya bersembunyi. Ibunda teman yang polisi tadi juga memergoki anaknya sedang ringkes-ringkes bong. Alat nyabu. Temannya langsung direhabilititasi. Untung namanya tidak disebut-sebut. Tidak digigit. Dicakot. “Sebelum tahu bunyi sirine itu berasal mobil-mobil yang lalu lalang dari lokasi kebakaran dan sebelum tahu temanku direhabilitasi ibunya, aku sering parno. Hampir semingguan selalu deg-degan kalau melihat orang berseragam polisi atau mendengar sirine,” aku Arin. Arin menambahkan, untung dia tidak seperti kebanyakan temannya yang terlalu obsesif. Walau diakui tubuhnya sering ngedrop bila telat ngobat atau nyabu, dia masih mampu mengendalikan diri. “Jadi tidak kecanduan-kecanduan amat,” tegasnya. Kondisi paling menyiksa dialami Arin menjelang menikah. Saat itu dia harus dipingit 40 hari. Padahal, sebelum itu dia setidaknya seminggu sekali harus ngobat (nenggak ekstasi) atau ngubas (nyabu). Bayangkan ketika dipaksa harus berhenti total 40 hari. Mending kalau diperbolehkan menemui teman, dia bisa titip barang kepada mereka. Ini jangankan bertemu seseorang, orang tuanya yang konservatif bahkan tidak memperbolehkan memegang HP. “Masih mending dikarantina di masa-masa pandemi corona. Masih bisa kontak-kontak. Malah banyak orang keluyuran meski disarankan tinggal di rumah aja. Huh,” kata Arin, lantas tertawa. “Saya malah nyaris sembuh dari kecanduan setetah dipingit. Jadi tidak ingat lagi rasanya geleng-geleng enak gilak atau tubuh pyar-pyar setelah ngluthuk. Ah,” kata Arin. (jos, bersambung)
Sumber: