Buah Kawin Lari tanpa Restu Orang Tua (1)
Gama (bukan nama sebenarnya) tidak kerasan berlama-lama di rumah. Terutama pada malam hari. Kerjanya hanya kelayapan yang tidak jelas di mana dan sedang apa. Istrinya, sebut saja Darsih (23), tidak bisa berbuat banyak. Nasihatnya sudah habis ditelan udara. Andaipun masuk telinga, langsung dikeluarkan oleh telinga yang sama. Tak mungkin nyantol dan berbekas. “Aku sudah kehabisan kata-kata menghadapi dia,” kata Darsih di kantor pengacara kawasan Ketintang. Sekitar gedung Pengadilan Agama (PA) Surabaya, beberapa waktu lalu. Sebenarnya hari itu dia janjian bertemu Gama untuk membicarakan masalah hak asuh anak sebelum memasuki sidang secara resmi. “Tapi dia selalu ingkar. Janji-janji mau datang, buktinya plas… nglewes gal mongol,” kata Darsih. Matanya jelalatan mengitari sekitar tapi tidak menemukan yang dicari-cari. “Pencen jancuk wonng iki. Nggak bisa disabari. Gini kan memperlambat sidang,” katanya. Perempuan berambut lurus dan berponi itu berdiri dari duduknya dan kembali ngomel-ngomel tidak jelas. ‘’Damput. Bajingan itu tidak nongol lagi,” katanya ketus “Sabar, Mbak. Yang penting prosesnya cepet selesai. Biarkan dia nggak datang, nggak ngaruh,” kata Memorandum mencoba mendinginkan hati Darsih dan minta dia duduk kembali. Dengan penuh emosi Darsih tiba-tiba membuka kisah hubungannya dengan Gama, permasalahan yang muncul di keluarga mereka, hingga terjadi perceraian di antara keduanya. Kata Darsih, rumah tangganya retak sejak lima tahun lalu. Sejak Gama suka keluar malam tanpa alasan yang jelas. Hampir setiap malam selepas Magrib Gama selalu menghilang. Mulanya Darsih membiarkan kebiasaan baru suaminya. Tapi lambat laun Gama semakin sulit dikekang. Setiap ditanya mau ke mana atau ada urusan apa kok sering keluar malam, Gama tidak pernah menjawab. Kalaupun menjawab, kalimat yang keluar dari bibirnya selalu singkat. “Urusan laki-kali. Kamu nggak perlu tahu,” kata Darsih. Sehari-dua hari Darsih mencoba memaklumi. Tapi karena kebiasaan itu dilakukan tanpa mengenal jeda, dia mulai bertanya dengan kasar: ke mana saja sebenarnya Gama kelayapan setiap malam. Tidak diduga, Gama pun menjawab kasar. Dia mengaku tidak bisa beristirahat di rumah karena anak mereka selalu rewel. Menangis hampir sepanjang malam. Tiap hari. Namun, alasan ini dianggap mengada-ada, karena faktanya anak mereka yang memang masih bayi tidak serewel yang dikatakan Gama. Masalah ini akhirnya menjadi masalah laten dalam rumah tangga mereka. Dampak negatifnya melebar. Jika mulanya Gama keluar rumah setelah Magrib dan pulang tengah malam, kini semakin nggladrah. Tak jarang dia pulang menjelang pagi, bahkan menginap entah di mana. (jos, bersambung)
Sumber: