Zaman Buruk Bagi Jurnalisme

Zaman Buruk Bagi Jurnalisme

London, memorandum.co.id - Laporan yang diterbitkan oleh Reuters Institute pada Rabu (14/6/2023) menunjukkan, influencer dan selebritas di TikTok semakin menggeser jurnalis sebagai sumber utama berita bagi kaum muda. Lembaga yang berbasis di Inggris itu melaporkan, 55 persen pengguna TikTok dan Snapchat, serta 52 persen pengguna Instagram mendapatkan berita dari akun-akun personal. Sementara itu, 33-42 persen responden mendapatkan berita dari media arus utama di platform-platform terpopuler bagi anak muda tersebut. Survei ini didasarkan pada wawancara dengan sekitar 94.000 orang di 46 negara yang dilakukan untuk Reuters Institute for the Study of Journalism bagian dari Universitas Oxford Inggris. "Meski jurnalis arus utama sering memimpin percakapan seputar berita di Twitter dan Facebook, mereka kesulitan mendapat perhatian di media yang lebih baru seperti Instagram, Snapchat, dan TikTok," kata laporan itu. Penulis utama laporan, Nic Newman mengemukakan, berita bukan hanya tentang politik dan hubungan internasional, tetapi segala sesuatu hal baru yang terjadi di setiap lapisan masyarakat seperti olahraga, hiburan, gosip selebriti, peristiwa terkini, budaya, seni, dan teknologi. Facebook tetap menjadi sumber berita utama di antara jejaring sosial seluruh dunia, tetapi pengaruhnya menurun. Kini hanya 28 persen pengguna yang masih menggunakan Facebook untuk mendapatkan berita, dibandingkan 42 persen pada 2016. Kemungkinan, ini mencerminkan pergeseran Facebook dari platform berbagi berita ke fokusnya pada teman dan keluarga, serta preferensi anak muda untuk aplikasi berbasis video seperti TikTok dan YouTube. TikTok sekarang menjangkau 44 persen dari usia 18-24 tahun dengan 20 persen di antaranya mendapatkan berita dari aplikasi itu, naik lima persen dari tahun lalu. Tantangan terbesar bagi kantor berita tradisional adalah menurunnya jumlah orang yang mengakses langsung situs web mereka, sekarang hanya 22 persen, turun 10 persen sejak 2018. Pengunjung kini lebih mengandalkan tautan dari media sosial. Dalam kata pengantarnya, Direktur Reuters Institute, Rasmus Kleis Nielsen mengatakan, pergeseran ini menghadirkan perubahan jauh lebih mendasar bagi industri berita, bahkan daripada peralihan dari kertas ke digital satu generasi yang lalu. Audiens baru ini sadar akan risiko mengandalkan algoritme, sehingga hanya 30 persen yang berpikir ini cara baik untuk mendapatkan berita seimbang, tetapi itu masih dianggap lebih baik daripada mengandalkan jurnalis yang hanya mendapat skor 27 persen. Ini menjadi kabar buruk bagi perusahaan media yang bergantung pada pelanggan (subscriber) dan pendapatan iklan. Laporan Reuters Institute menemukan, 39 persen pelanggan membatalkan atau menegosiasi ulang langganannya, meski jumlah keseluruhan orang yang membayar berita di 20 negara yang disurvei tetap stabil dibandingkan tahun lalu sebesar 17 persen.(bbs/ziz)

Sumber: