Istri Cantik Dibegal Ayah Angkat yang Pengusaha (1)

Istri Cantik Dibegal Ayah Angkat yang Pengusaha (1)

Duri (bukan nama sebenarnya) mengawali rumah tangga bersama perempuan lugu bernama Warsih (samaran) dengan keyakinan bakal mampu mewujudkan keluarga sakinah, mawadah, warohma (samawa). Duri yakin Warsih yang berasal dari keluarga sederhana bisa menyelaraskan diri dengan kehidupan Duri yang masih bekerja sebagai pegawai honorer di kantor pemerintahan. Keyakinan itu semakin kuat melihat selama ini Duri mengenal Warsih orangnya sangat pendiam dan tidak banyak pergaulan. Dia tidak akan bicara kalau tidak ada yang mengajaknya bicara. Ijab kabul di rumah sempit perkampungan padat penduduk kawasan Kapasan menandai janji suci mereka. “Kami berkenalan di Sentra Wisata Kuliner Karah ketika sama-sama makan malam,” kata Duri kepada pengacaranya di kantor sekitar Pengadilan Agama (PA) Surabaya, Jalan Ketintang Madya, beberapa waktu lalu. Keterlambatan pergaulan Warsih tampak dari tamu yang diundang ke resepsi pernikahannya. Hanya ada beberapa orang. Tidak sampai 10. Cuma tetangga kanan-kiri. Tak lama setelah resepsi yang diadakan secara sederhana, pasangan pengantin baru itu lantas menyewa rumah dekat tempat tinggal orang tua Warsih. Warsih tidak tega meninggalkan kedua orang tuanya karena dia adalah anak tunggal mereka. Dengan berdekatan rumah, sewaktu-waktu Warsih bisa menengok mereka. Memang, hampir setiap waktu Warsih bisa lebih banyak bersama kedua orang tuanya. Setiap Duri bekerja atau keluar untuk keperluan apa pun, Warsih pasti pulang ke rumah orang tuanya. Duri bahkan sering harus menjemput istrinya di rumah mertua sepulang kerja atau dari bepergian. “Hidup Warsih sepertinya hanya di dua tempat itu. Tidak ada yang lain. Kalau tidak di kontrakan saya ya di rumah Ibu (mertua, red),” kata Duri memberi gambaran kehidupan sang istri. Bahkan, sering dengan alasan capek karena membantu ibunya membuat kue pesanan, Warsih menginap di rumah sang ibu. Mungkin karena kebiasaan semacam itu, pada saat-saat tertentu Duri merasa agak kurang dekat dengan istrinya. Duri juga merasakan sikap kedua mertuanya agak merenggang. “Hal itu saya rasakan sejak tiga bulan usia perkawinan kami. Tapi, saya mencoba menepisnya dengan lebih mendekatkan diri kepada keluarga istri,” tambahnya sambil mengeluarkan sebungkus rokok dari tas kecil, mengambilnya sebatang, lalu memasang di antara kedua bibir. Dia juga menawarkan rokoknya kepada Memorandum. Tapi karena Memorandum spontan menolaknya dengan mengibaskan lengan, Duri segera meminta maaf. “Sori, saya kira Njenengan merokok,” katanya, lantas tersenyum. Tapi ketika sadar bahwa kami berada di ruang ber-AC, Duri pura-pura batuk dan buru-buru memasukkan kembali rokoknya. Dia kemudian menarik napas panjang seperti sedang melepaskan beban yang menghimpit. (jos, bersambung)  

Sumber: