Dibayang-bayangi Kepercayaan Tahayul Leluhur (2)

Dibayang-bayangi Kepercayaan Tahayul Leluhur (2)

Pada kesempatan Angga meminang Rina sebelum keluarganya resmi mengadakan lamaran, barulah terkuak di mana posisi keluarga Angga. Dan, itu sama sekali tidak pernah disangka Bapak Rina. Ketika Angga menyatakan bahwa orang tuanya yang tinggal di Kediri berencana mengadakan lamaran dua-tiga bulan ke depan, mata bapak Rina terbelalak. Dia menegaskan apakah memang benar Angga berasal dari Kediri? Angga menyatakan dengan tegas, ya. Saat itu Bapak kelihatan terkulai lemas. Dia terdiam cukup lama sebelum menyatakan dengan lirih bahwa rencana lamaran harus dibatalkan. “Maaf Ngga, silakan pulang. Batalkan rencana mengajak orang tuamu ke sini. Dan jangan pernah-pernah lagi ke sini,” kata Bapak. “Kenapa?” “Ya. Kenapa, Pak?” sahut Rina. Bapak tidak menjawab. Dia langsung berdiri dan masuk kamar. Dikunci. Rina dan Angga yang ditinggal bersama Emak menoleh ke arah Emak. Dia bertanya dengan lirih, “Ada apa Mak?” Setelah itu perlahan Emak bercerita bahwa mungkin Bapak mungkin tidak ingin kejadian lama terulang kembali. “Bapak sangat percaya kepada keyakinan leluhur bahwa gadis Lamongan jangan sampai menikah dengan pemuda Kediri. Hasilnya pasti berantakan,” katanya. Sebenarnya keyakinan itu sudah dipegang erat-erat Bapak dan Emak. Tapi ketika kakak Rina ngotot minta kawin ketika dilamar pemuda Kediri, Bapak tidak bisa mengelak, kakak Rina yang mengancam akan bunuh diri bila lamaran kekasihnya ditolak, akhirnya menemui kenyataan buruk. Dengan terpaksa Bapak menikahkan kakak Rina. Pasangan itu hidup bahagia lebih dari setahun. Tapi setelah itu halangan menghadang. Sesuai ramalan pinisepuh: gadis Lamongan yang dinikahi pemuda Kediri bakal mati sia-sia. Dan benar, kakak Rina disambar ombak Pantai Selatan ketika bersama suaminya rekreasi ke Bali, ke Pantai Lot. Kepercayaan Bapak dan Emak kepada keyakinan leluhur makin tebal setelah ada peristiwa tidak masuk akal pasca kematian kakak Rina. Waktu itu Bapak dan Emak bertamu ke rumah family di Mojokerto. Mereka menginap di rumah family tersebut. Sekitar pukul 19.00 waktu makan malam tiba. Mereka diajak tuan rumah andok di warung lesehan dekat stasiun kereta api. Suasana sangat ramai. Tiba saat pemilik warung menawari Bapak, Emak, dan para famili pesan apa. Tapi semua lauk penyetan sudah habis. Tinggal penyetan lele. Bapak dan Emak kaget karena lele adalah makanan pantangan bagi orang asli Lamongan. Mereka tidak jadi pesan makanan, hanya pesan minum saja. Tuan rumah mendesak: tamu harus makan. Maka terpaksalah Bapak dan Emak mencicipi makanan yang tersaji di depan mereka. Padahal, pada keyakinan mereka, orang asil Lamongan yang berani makan ikan lele bakal menemui nasib sial. (jos, bersambung)    

Sumber: