Hukum Membayar Utang Orang yang Sudah Meninggal

Hukum Membayar Utang Orang yang Sudah Meninggal

Surabaya, Memorandum.co.id - Membayar atau melunasi hutang adalah sebuah kewajiban yang harus ditunaikan oleh orang yang berhutang. Bahkan Islam mengajarkan bagi orang yang sudah mampu untuk melunasi hutang, agar sesegera mungkin hutangnya dilunasi. Menunda-nunda pembayaran hutang bagi orang yang telah memiliki kemampuan untuk melunasi dikategorikan sebagai sebuah kedzaliman. Dalam hadis diterangkan: عَنْ هَمَّامِ بْنِ مُنَبِّهٍ أَنَّهُ سَمِعَ أَبَا هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ يَقُولُ قَالَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مَطْلُ الْغَنِيِّ ظُلْمٌ. [رواه البخاري] Artinya: “Diriwayatkan dari Hamam ibn Munabbih, bahwasanya ia mendengar Abu Hurairah ra, berkata: Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: Menunda-nunda pembayaran hutang bagi orang yang mampu adalah suatu kedzaliman.” [HR. al-Bukhari] Namun Jika orang meninggal yang meninggalkan utang bagaimana melunasinya? Persoalan antara utang orang yang sudah meninggal, secara finansial dibagi menjadi dua kategori, yaitu: 1. Utang yang berhubungan dengan Tuhan Utang yang dimaksud adalah tanggungan zakat, orang tua yang sudah tidak kuat beribadah puasa ramadhan sehingga harus membayar fidyah, dan lain-lain. Dalam buku Roh (Ar-Ruh li Ibnil Qayyim) oleh Ibn Qayyim Al-Jawziyah yang diterjemahkan oleh Kathur Suhardi, ada sebuah Riwayat dari An-Nasa'i dari Ibnu Abbas bahwa dia berkata, ada seorang anak laki-laki berkata kepada Rasul: "Wahai Rasulullah, ayahku meninggal dunia dan belum sempat menunaikan haji. Maka apakah aku harus menunaikan haji atas nama dirinya?" Beliau menjawab "Apa pendapatmu sekiranya ayahmu mempunyai utang, apakah engkau akan melunasinya?" Orang itu kemudian menjawab "Ya." Rasul bersabda, "Utang terhadap Allah lebih layak untuk dipenuhi" 2. Utang finansial yang berhubungan dengan sesama manusia Utang kepada sesama manusia bisa berupa hutang uang, pakaian, beras, dan lain-lain. Dijelaskan juga dalam buku Roh tersebut, kaum muslimin sepakat bahwa apabila seseorang meninggal dan mempunyai utang kepada yang masih hidup, lalu orang yang masih hidup dengan ridha membebaskan utangnya, maka itu akan menjadi hal yang bermanfaat bagi orang yang sudah meninggal karena terbebas dari tanggungan. Kemudian juga dijelaskan bahwa utang orang yang meninggal bisa dilunasi oleh orang lain termasuk yang bukan ahli warisnya, sebagaimana dalam hadis Abu Qatadah, bahwa ia pernah melunasi utang seseorang sebanyak dua dinar. Kemudian setelahnya Nabi bersabda, "Sekarang kulitnya terasa dingin olehnya." Hukum lain juga terdapat beberapa pendapat, yaitu: 1. Apabila salah satu keluarga dari orang yang meninggal (dengan meninggalkan utang) mengumumkan bahwa utang orang tersebut dia yang menanggung, maka tanggungan tersebut hukumnya sah. Namun, utang orang tersebut dianggap belum lunas apabila keluarga yang bersedia menanggung tadi belum benar-benar membayarkan utangnya secara kontan. 2. Ulama juga bersepakat bahwa istilah mengenai 'warisan utang' tidak ada dalam fiqih. Apabila orang yang meninggal memiliki utang yang amat banyak, dan tidak meninggalkan aset yang cukup, maka ahli waris tidak memiliki kewajiban untuk membayar utang. Namun apabila ahli waris menghendaki untuk membayar utang, maka hukumnya sah-sah saja. Sebagaimana hadits dari Ibnu 'Umar Radhiyallahu anhuma, ia berkata "Rasulullah SAW bersabda: "Barangsiapa yang mati dan memiliki utang satu dinar atau satu dirham, maka akan dilunasi dari kebaikannya 9karena) di sana (akhirat) tidak ada dinar tidak pula dirham." (HR. Ibnu Majah). (*/Rdh)

Sumber: