Anggota Dewan yang Terpanah Asmara Keponakan Istri (5)

Anggota Dewan yang Terpanah Asmara Keponakan Istri (5)

Terpaksa Mengancam Joe agar Segera Menyelesaikan Masalah Oleh: Yuli Setyo Budi, Surabaya Benar. Susi menanyakan Joe. Tapi hanya sepintas. Begini pertanyaannya, “Mas Yuli, apakah Mas Joe mampir ke rumah Panjenengan?” Tidak ada pertanyaan atau pernyataan lain. Sesuai permintaan Joe, Memorandum menyatakan Joe tidak pernah mampir. Menelepon saja tidak. Terdengar Susi menghela napas panjang. Memorandum balik bertanya, “Ada apa? Apa ada masalah dengan Joe?” “Tidak, Mas.” “Kok tampaknya Dik Susi gimana, gitu.” “Nggak ada apa-apa, Mas. Mas Joe sejak seminggu lalu pamit rakor ke Surabaya. Selama itu tidak bisa dihubungi. HP-nya selalu tidak aktif. Aku hanya khawatir. Tidak ada apa-apa kok Mas. Maaf.” Joe mendengarkan pembicaraan kami. Dia hanya diam. Diam seribu bahasa seperti manula tunawicara hlolak-hlolok. “Kenapa kau sama sekali tidak ngontak Susi?” “Takut, Mas.” “Susi tidak ada masalah begitu lho.” “Tapi aku takut.” Ya sudah. Tidak ada yang bisa Memorandum katakan atau perbuat. Biarkan Joe menyelesaikan sendiri masalahnya. Ternyata Susi menelepon lagi keesokan harinya. “Aku sudah menelepon ke mana-mana, tapi tidak ada yang tahu. Keluarganya, saudara-saudaranya, juga teman dewannya. Mereka bahkan ada yang mengaku tidak ada acara rakor di luar kota.” Dari nada bicaranya, tampak kepanikan melanda pikiran Susi. Kasihan sebenarnya. Tapi bagaimana lagi, Joe belum mau membuka keberadaan dirinya. “Kasihan Susi. Segeralah pulang dan jelaskan apa yang terjadi sebenarya kepada dia,” saran Memorandum. “Aku masih takut, Mas.” “Aku temani kau menemui Susi.” “Untuk apa? Nanti malah kacau, Mas. Sampeyan nanti malah kena getahnya.” “Begini saja. Kuberi kau kesempatan berpikir lagi. Tapi tidak lama. Cukup sehari. Bila waktu sehari sudah lewat dan kau belum menemukan solusi, dengan berat hati aku minta kau tinggalkan rumahku!” Joe kaget. Wajahnya ndomblong. Mungkin tidak mengira bakal mendengar kalimat itu. Tapi biarlah. Kalau tidak begitu, dia tidak akan dewasa menghadapi masalah ini. Harus dipaksa. “Kalau memang itu yang Mas Yuli maui, baiklah,” katanya sambil meninggalkan tempat kami ngobrol dan masuk kamar tidurnya. Sekilas tampak raut kekecewaan di wajah Joe. Kasihan, memang. Tapi, Memorandum lebih merasa kasihan bila membayangkan wajah Susi di rumahnya sana. Betapa nelangsa dan galaunya lebih dari seminggu tidak mengetahui wajah suami. Tidak mendengar kabarnya. Hemmm… warna-warni kehidupan. (bersambung)  

Sumber: