Saat Istri Oleng dan Ingin Mencampakkan Lelaki Pilihan (1)

Saat Istri Oleng dan Ingin Mencampakkan Lelaki Pilihan (1)

Game over. Sudah tak mungkin dilanjut,” kata perempuan muda di ruang kerja Win, pengacara yang biasa mengurusi kasus-kasus cerai di Pengadilan Agama Surabaya. Memorandum yang waktu itu sedang duduk santai di ruangan lain amat kaget. Sebab, keluhan yang disampaikan perempuan itu, sebut saja Lilis, mirip dengan kasus yang terjadi pada Linda yang pernah ditulis Memorandum. “Lho, kok kejam begitu?” tanya Win. “Dia lebih kejam. Sudah tidak bisa diajak bicara. Kalau diomelin dan tersudut, bisanya malah pergi dari rumah. Pernah saya berusaha mencegah tapi malah kejedot pintu. Sakit,” keluh Lilis. Perempuan yang masih punya satu momongan berusia dua tahun ini lantas membuka ujung hijab dan menunjukkan lebam di wajah. Memorandum yang melihat sepintas sempat tertegun. Wow… cantik juga. Alami. Ruang kami memang hanya dibatasi dinding kaca. “Ehem-ehem.” Suara Win agak keras dan seperti dibuat-buat. Memorandum menoleh dan melihat lelaki asal Madura itu menggeleng. Rupanya ia berupaya mengingatkan Memorandum agar menjaga pandangan. Tidak melihat dan menikmati aurat perempuan yang bukan mahrom. Jujur Memorandum amat malu. Beruntung Win tidak mempermalukan lebih jauh. Dia malah memperkenalkan Memorandum sebagai asistennya. Memorandum menundukkan wajah ke arah Lilis sambil tersenyum. “Lilis sudah pernah curhat ke mertua?” tanya Win. “Ibu mertua, red) dan suami hubungannya kurang dekat. Mereka sendiri jarang komunikasi. Ibu lebih banyak diam mendengar aku kicara ngalor-ngidul. Tidak ada satu kecap pun nasihat dari beliau.” Ibu mertua hanya minta Lilis bersabar. Itu saja. Itu pun diucapkan ketika hendak  pamit pulang. “Yang sabar ya Nduk. Cuma itu yang kudengar dari Ibu (mertua). Padahal aku ingin mendengar nasihat dan solusi.” “Ayah mertua?” tanya Win. “Suami sudah yatim sejak kecil. Sejak kelas dua SD.” Lilis lantas bercerita bahwa suaminya mempunyai dua saudara. Kakak laki-laki dan adik perempuan.  “Ibu tidak menikah lagi. Karena itu beliau harus bekerja keras untuk suami saya dan saudara-saudaraya.” Mendengar itu, Memorandum membayangkan betapa keras perjuangan mertua Lilis. Dia harus kerja pontang-panting memenuhi kebutuhan keluarga dengan tiga anak. Sampai tidak ada waktu bicara dan bercanda. Setiap berada di rumah, yang ada hanyalah sisa-sisa kelelahan dan kepenatan. Jadi, wajar kalau dia kurang akrab dengan anak-anaknya. Hidupnya dipenuhi ketegangan dan ketegangan. Untuk sekadar bicara pun sudah tidak ada daya. Dan, itu terbawa sampai tua. Setelah anak-anak sudah mentas pun, perempuan tersebut tidak mau ongkang-ongkang kaki duduk di kursi goyang. Juga, tidak mau tinggal bersama salah satu anak. “Takut membebani. Itu alasan yang pernah saya dengar dari Ibu,” kata Lilis. (jos, bersambung)    

Sumber: