Membedah Konsep Pemikiran Ki Hajar Dewantara dengan Penerapan Pendidikan Karakter dalam Mengatasi Kenakalan Re

Membedah Konsep Pemikiran Ki Hajar Dewantara dengan Penerapan Pendidikan Karakter dalam Mengatasi Kenakalan Re

Menjadi guru di era zaman now memang memiliki tantangan yang sangat luar biasa. Di era kemajuan teknologi yang semakin canggih saat ini atau orang menyebutnya sebagai zaman globalisasi, sering terdengar istilah kenakalan remaja. Istilah kenakalan remaja sering dijadikan bahan pembahasan yang menarik, baik di masyarakat, media sosial, media cetak, atau media elektronik. Kenakalan remaja atau dalam bahasa Inggris dikenal dengan istilah juvenile delinquency merupakan suatu perbuatan menyimpang, melanggar norma, atau aturan yang umumnya dilakukan kalangan remaja atau masa transisi anak-anak menuju ke dewasa. Secara lebih luas istilah kenakalan remaja banyak dikaitkan dengan suatu perilaku yang menyimpang atau berujung pada berbagai pelanggaran dalam norma kehidupan masyarakat seperti: pelanggaran status, pelanggaran hukum pidana, dan juga hukum yang berlaku di masyarakat. Contoh pelanggaran status seperti balap liar, merokok, minuman keras, bolos sekolah, kabur dari rumah, dan lain sebagainya. Pelanggaran status bukan tergolong pelanggaran pidana. Sedangkan pelanggaran hukum pidana contohnya antara lain premanisme di kalangan remaja, seks pranikah, aborsi, curanmor, penyalahgunaan narkoba, tawuran pelajar, pelecehan seksual, berkendara tanpa memiliki SIM, dan lain sebagainya. Salah satu penyebab yang paling menonjol terjadinya kenakalan remaja adalah faktor emosi. Emosi merupakan bahasa reaksi tubuh atas respon terhadap peristiwa yang terjadi di suatu lingkungan sehingga bisa menimbulkan terjadinya perubahan perilaku pada diri remaja. Perubahan-perubahan yang terjadi pada perilaku remaja dalam berbagai aspek seperti jasmaniah, rohaniah, sosial dan personal akan menumbuhkan perubahan pada tingkah laku serta tantangan yang akan dihadapinya. Para pakar psikologi menganggap masa remaja sebagai periode “badai dan tekanan “ (storm and stress), artinya pada masa remaja ketegangan emosi meninggi sebagai akibat perubahan fisik dan kelenjar. Akan lebih parah lagi bila para remaja berada dalam lingkungan yang penuh tekanan sosial dan menghadapi kondisi baru sebagai proses adaptasi untuk mencoba menemukan jati dirinya. Tidak matangnya emosi seseorang dapat menyebabkan letupan emosi di hadapan orang lain yang kerap menimbulkan berbagai persoalan atau masalah. Berbagai persoalan kenakalan remaja ini bisa berasal dari  diri remaja itu sendiri (internal) maupun faktor dari luar (eksternal). Faktor internal misalnya krisis identitas akibat perubahan biologi dan sosiologi serta kontrol diri yang lemah. Sedangkan faktor eksternal misalnya berbagai persoalan keluarga seperti kasus  perceraian, pendidikan yang salah, penolakan terhadap eksistensi anak, dan salah pergaulan. Di Indonesia kasus kenakalan remaja kerap dijumpai di kota-kota besar seperti tawuran pelajar, penyalahgunaan narkoba, kasus kekerasan di sekolah, bullying, pelecehan seksual, aborsi, dan lain sebagainya. Berdasarkan data Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) sepanjang 2022, terdapat 502 kasus anak korbak kekerasan fisik atau psikis. Salah satu sebabnya antara lain pengaruh teknologi dan informasi. Banyaknya tontonan kekerasan serta penghakiman di media yang bisa diakses dengan cepat, permisivitas lingkungan sosial budaya, lemahnya kualitas pengasuhan, kemiskinan keluarga, pengangguran, hingga tempat tinggal yang tidak ramah pada anak. Fenomena kenakalan remaja tersebut memperlihatkan gangguan perilaku yang dialami kalangan remaja dan menjadi keprihatinan kita semua. Namun sayangnya kondisi yang bisa mengganggu psikologis para remaja tersebut sulit dibendung jika sudah masuk ranah sosial media walaupun ada keluarga, orang tua, konselor, dan guru. Secara realita akhir-akhir ini karakter generasi muda, khususnya di kalangan remaja sudah banyak mengalami degradasi dan kelunturan. Kaum remaja baik yang ada di desa maupun kota akhir-akhir ini banyak menghabiskan waktunya sekadar bermain gadget atau berselancar dengan game online macam PUBG Mobile, Free Fire, Mobil Lagend, Call of Duty Mobile, Bang Bang, Arena of Valor, Lost Crusade, Ragnarok, Roblox, dan sejenisnya. Akibat keranjingan ber-gedget dan ber-game secara tidak sadar telah menggerogoti ajaran nilai-nilai luhur seperti budi pekerti, kesantunan, tata karma, adab, gotong royong, dan lain sebagainya. Apakah ini merupakan pertanda gagalnya pendidikan karakter di Indonesia? Untuk menjawabnya kita harus melihat secara realita di lapangan. Kita ambil contoh, kejadian salah seorang guru SMA berinisial TAD (53) di kota Kupang Nusa Tenggara Timur (NTT) dianiaya oleh seorang muridnya RJD (17) yang kerap membuat onar di kelas tahun 2022 lalu. Siswa nakal ini tak terima karena ditegur gurunya, lalu memukul wajah gurunya. Kisah pilu lainnya, seorang guru wanita SMP Negeri 1 kota Bengkulu berinisial SV (41) dipukul hingga memar oleh siswanya sendiri ST (13) pada tahun 2023 lalu. Seorang guru SMA di Sampang, Madura berinisial ABC (26) beberapa tahun silam harus meregang nyawa karena dibunuh oleh siswanya sendiri bernama HI (17) setelah ditegur karena sering berbuat onar di kelas. Setelah ditegur oleh gurunya, siswa nakal itu tak terima lalu memukuli gurunya hingga tewas. Lebih miris lagi, ada seorang siswa SD di Probolinggo, Jawa Timur, dan di Pasaman Barat, Sumatera Barat menghamili siswa SMA setelah kecanduan film porno. Maraknya tawuran antarpelajar dan gangster di beberapa daerah yang kerap membikin onar juga melibatkan beberapa oknum pelajar. Masih banyak lagi contoh kenakalan remaja yang banyak dilakukan kaum pelajar membuktikan bahwa telah terjadi krisis kelunturar pendidikan karakter yang cukup parah di dunia pendidikan kita saat ini. Para pembuat kebijakan, pemuka agama, guru, orang tua, dan masyarakat umum beramai-ramai menyatakan keprihatinannya. Muchlas Samani dan Hariyanto (2013), pakar pendidikan dari Unesa menyatakan ketika bangsa Indonesia bersepakat memproklamirkan kemerdekaan Indonesia pada 17 Agustus 1945, para pendiri bangsa (the founding father) menyadari ada tiga tantangan besar yang harus dihadapi oleh bangsa Indonesia. Pertama, adalah bagaimana mendirikan Negara yang bersatu dan berdaulat. Kedua, adalah membangun suatu bangsa. Ketiga adalah membangun karakter. Dari ketiga tantangan tersebut, yang paling santer dibicarakan saat ini, terutama di dunia pendidikan adalah membangun karakter. Bagaimana membangun pendidikan karakter di Indonesia yang sesuai dengan harapan para pendiri bangsa tersebut. Pendidikan karakter di Indonesia sebenarnya bukan hal yang baru, karena Ki Hajar Dewantara yang mendapat gelar sebagai Bapak Pendidikan Indonesia itu pernah menyatakan bahwa pendidikan merupakan upaya untuk menumbuhkan budi pekerti (karakter), pikiran (intellect), dan tubuh anak. Ketiga hal tersebut sangat dibutuhkan bagi generasi muda, terutama para remaja yang akan menjadi penerus perjuangan bangsa besar ini. Berbicara masalah pendidikan karakter di Indonesia seakan tak lepas dari konsep pemikiran Ki Hajar Dewantara, seorang pahlawan nasional sekaligus tokoh pendidikan modern di Indonesia. Mengapa perlu konsep pemikiran beliau? karena hampir semua aspeknya senantiasa merujuk pada pemikirannya. Konsep Tripusat Pendidikan, Sistem Among, Pancadharma, dan lain-lainnya telah mensejajarkan Ki Hajar Dewantara dengan tokoh-tokoh pendidikan kelas dunia seperti John Dewey, John Locke, Al Ghazali, Ibnu Sina, Frobel, Montessorie, Rabindranat Tagore, dan Peztalozzi. Konsep pendidikan multikultural ala Ki Hajar Dewantara yang bercorak nasionalis dan universal sangat cocok diterapkan di Indonesia, terutama untuk menanamkan nilai-nilai karakter anak didik. Nasionalistik berdasarkan pada prinsip budaya bangsa yang terdiri dari berbagai ras, suku, kelompok, bahasa, dan agama yang beraneka ragam. Universal artinya bisa merangkul semua unsur agama, keyakinan, golongan, suku, dan ras (multikultural). Dalam melaksanakan sistem pendidikannya,  Ki Hajar Dewantara menggunakan prinsip Pancadarma yang terdiri dari: Asas Kemerdekaan, Asas Kebangsaan, Asas Kemanusiaan, Asas Kebudayaan, dan Asas Kodrat Alam. Sedangkan dari sudut pandang isinya menitikberatkan pada ajaran budi pekerti (karakter), kemanusiaan (humanisme), kemerdekaan (kebebasan), dan budaya bangsa (multikultural). Ki Hajar Dewantara menginginkan pendidikan yang ada di Indonesia bisa selaras dengan budaya bangsa seperti yang tersirat dalam asas Pancadarma yang bercorakkan kebudayaan dan kebangsaan serta tidak memihak suatu golongan atau agama tertentu, tetapi pendidikan yang merdeka, humanis, dan universal. Begitu juga dengan konsep pendidikan  sistem Among (sistem pengajaran) yang juga beliau terapkan dalam dunia pendidikan begitu sarat dengan jiwa kekeluargaan, bersendikan kodrat alam, dan kemerdekaan yang menelorkan sistem Tut Wuri Handayani. Dalam sistem Among, orientasi pendidikan lebih terpusat pada anak didik (student centered). Konsep Tut Wuri Handayani meliputi tiga hal yaitu: - Ing ngarso sung tuladha (mengandung nilai keteladanan), artinya seorang guru/pendidik harus mampu menjadi tauladan semua orang yang ada di sekitarnya. - Ing madya mangun karsa (mengandung nilai kreativitas dan pengembangan gagasan), artinya seorang guru/pendidik diharapkan mampu membangkitkan semangat anak didiknya. - Tutu wuri handayani (mengandung nilai memantau, melindungi, merawat, menjaga, dan mengembangkan karakter siswa), artinya seorang guru/pendidik diharapkan mampu memberikan dorongan moral dan semangat kepada anak didiknya. Jika kita mau jujur, sesungguhnya akar rusaknya akhlak generasi muda khususnya para remaja saat ini terletak pada terkikisnya karakter. Saat ini pendidikan karakter menjadi kebutuhan yang mendesak dilaksanakan secara serius untuk mengatasi berbagai masalah yang membelit bangsa kita, terutama di dunia pendidikan. Bila pendidikan budi pekerti (karakter) benar-benar bisa diterapkan oleh bangsa Indonesia dengan benar seperti yang sudah diajarkan oleh Ki Hajar Dewantara, maka bangsa Indonesia khususnya generasi muda (kaum remaja) diharapkan bisa menjadi generasi yang bermartabat dan berbudi luhur sesuai yang diamanatkan dalam Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional Tahun 2003. Perlu menjadi catatan bahwa konsep pendidikan karakter Ki Hajar Dewantara bisa dijadikan pedoman oleh seluruh komponen bangsa, khususnya oleh para guru yang menjadi ujung tombak pembentukan karakter siswa agar menjadi bangsa yang berbudi pekerti luhur khususnya di lingkungan pendidikan. Pendidikan karakter ala Ki Hajar Dewantara yang saat ini banyak diadopsi dalam Kurikulum Merdeka terutama penerapan Projek Penguatan Profil Pelajar Pancasila (P5) bila diterapkan dengan benar bisa menjadi senjata ampuh untuk meredam kenakalan generasi muda khususnya para remaja di Indonesia. Kita semua yakin bangsa Indonesia adalah bangsa besar dan memiliki budi pekerti (karakter) luhur sesuai nilai-nilai Pancasila, bisa menjadi contoh negara-negara lain sehingga konsep pendidikan karakter ala Ki Hajar Dewantara bukan sekadar wacana atau hanya cuplikan kalimat sakral yang sering dijadikan bahan referensi belaka. (*)   Penulis: Abdul Aziz, S.Pd. (Guru SMPN 31 Surabaya)

   
– memorandum.co.id tidak bertanggung jawab atas isi opini. Opini sepenuhnya menjadi tanggung jawab penulis seperti yang diatur dalam UU ITE –
   

Sumber: