Suami Lima Kali Minta Izin Menikah Lagi, Tak Dihirau

Suami Lima Kali Minta Izin Menikah Lagi, Tak Dihirau

Yuli Setyo Budi, Surabaya Desi belum bisa menerima kenyataan bahwa di antara dia dan suaminya ada orang ketiga. Ya. Orang ketiga. Pelakor. Perebut laki orang. Celakanya, orang ketiga itu sanggup mewujudkan impian yang selama ini mereka idam-idamkan: keturunan. Sedangkan dirinya? Tiba-tiba Desi memukuli perutnya sendiri. Keras. Berubi-tubi. Sampai kelehan dan badannya lemas. “Aku yang salah. Aku yang tidak mampu menjadi perempuan sejati. Aku mandul. Aku tidak berguna!” teriak Desi, tapi terdengar lirih. Hampir tidak terdengar. Suaranya seperti terlilit lidah. Ditelan udara panas Surabaya. Kami memang berada di ruangan ber-AC, nyatanya kepengapan masih mampu memompa keringat kami dari pori-pori di sekujur tubuh. “Persetan semua!” Desi membanting pintu kantor dan bergegas menuju mobil. Lama tak kembali. Hamir satu jam. Adiknya lantas pamit pemilik kantor dan menyusul kakaknya. Tak lama kemudian mobil berjalan mundur, atret, sebelum melesat pergi. Tinggal Memorandum di kantor pengacara tersebut dan akhirnya ikut-ikutan pamit. Kembali ke kantor. Pause. Beberapa minggu kemudian, ketika Memorandum sambang ke kantor pengacara tadi, ada kabar mengejutkan: Desi berencana mencabut gugatan cerainya. Ada banyak pertimbangan yang mempengaruhi Desi untuk mengambil putusan ini. Pertama. Ketika perkawinan menginjak usia hampir 10 tahun, mereka hendak melakukan pemeriksaan kesehatan, siapa di antara keduanya yang mandul sehingga Desi belum juga dikaruniai momongan? Kesepakatannya: bila yang mandul Muslikh, maka perkawinan dilanjutkan seperti biasa. Mereka akan mengadopsi seorang baby untuk mengisi kekosongan pada keluarga mereka. Tapi bila yang mandul Desi, Muslikh akan diberi kesempatan menikah lagi dengan perempuan yang subur. Tapi sampai Muslikh ditugasdinaskan ke Sulawesi, rencana tersebut belum sempat direalisasikan. Wajar, sebagai kepala cabang sebuah BUMN ternama, kesibukan Muslikh sangat padat. Kedua. Selama perkawinan Muslikh sanggup membuktikan dirinya sebagai lelaki setia, bertanggung jawab, bahkan mampu menampilkan citra seorang lelaki saleh dan agamis. Ketiga. Desi sendiri yang membuka peluang terjadinya poligami dalam rumah tangga mereka. Masalahnya, Desi bersikukuh tidak mau diajak pindah rumah ke tempat tugas baru sang suami. Alasan Desi sih masuk akal. Dia trauma bepergian menggunakan pesawat terbang atau kapal laut karena keluarganya pernah dicelakakan kedua moda transportasi itu. Kakek dan neneknya hilang setelah pesawat yang mereka tumpangi jatuh karena menabrak gunung. Pada tahun yang sama, kakak sulungnya tenggelam setelah kapal tempatnya bekerja sebagai kapten kapal pesiar dihantam ombak besar. Sementara, Desi tak mungkin pergi ke Sulawesi menggunakan mobil pribadi atau naik Grap. Apalagi ojek online. Sebagai lelaki, sangat tidak mungkin bagi Muslikh untuk menunggu jatah libur dan pulang hanya demi melampiaskan dahaga cinta. Tubuhnya bisa gringgingan dan panas-dingin ngempet dak konok’an lebih dari dua minggu. “Pak Muslikh mengaku pernah izin nikah lagi via telepon kepada Bu Desi. Waktu itu Bu Desi diam saja. Tidak ada tanggapan sama sekali. Maka, ketika benar-benar ada kesempatan Pak Muslikh langsung go-go-go. Sebab, bukan satu-dua kali Pak Muslikh minta izin. Ada kalau lima kali,” kata pengacara yang sempat hendak diserahi mengurus perceraiannya oleh Desi ini. (bersambung)  

Sumber: