Golkar Surabaya Ngotot Pertahankan Sistem Proporsional Terbuka

Golkar Surabaya Ngotot Pertahankan Sistem Proporsional Terbuka

Surabaya, memorandum.co.id - Polemik terkait Pemilu 2024 yang akan dilakukan dengan sistem proporsional tertutup menjadi perbincangan berbagai kalangan. Ada yang setuju dan banyak juga yang menolak. Ketua Golkar Surabaya, Arif Fathoni, misalnya. Dia sama sekali tidak setuju. Fathoni berpendapat bahwa sistem proporsional tertutup justru menjauhkan masyarakat dari tokoh politik pilihannya. Karena itu, pihaknya tegas mendukung sistem proporsional dihelat terbuka. Sebab, sistem proporsional terbuka yang berjalan sejak 2009 sudah representatif dan lebih demokratis. "Sejak awal, Partai Golkar tidak ingin mengkhianati apa yang telah dimandatkan masyarakat. Artinya, sistem proporsional terbuka yang telah kita adopsi sejak 2009, alhamdulillah sudah mendekatkan pemilih dengan yang dipilihnya," urai Fathoni, Rabu (11/1/2023). Dirinya lantas berharap, 9 hakim Mahkamah Konstitusi (MK) yang sekarang ini tetap berpedoman pada keputusan MK terdahulu. Juga meminta KPU untuk tetap berpedoman pada undang-undang yang telah berlaku sampai sekarang dengan menggunakan sistem proporsional terbuka. “Tanpa bermaksud mengurangi rasa hormat wakil Tuhan di muka bumi ini yakni, 9 hakim Mahkamah Konstitusi, saya berharap MK memutuskan sesuai dengan keputusan MK terdahulu di tahun 2008," harapnya. “Masa MK memutuskan substansi yang sama dengan keputusan berbeda, itu ironi," sambung Toni, sapaan lekatnya. Toni menambahkan, manakala sebagian pengamat menganggap sistem proporsional terbuka membuat demokrasi tidak efisien atau mahal, maka menurutnya hal itu menjadi tanggung jawab bersama untuk melakukan pendidikan politik kepada masyarakat. Untuk membangun sistem proporsional terbuka menjadi lebih baik, Toni mendorong agar Penegakan Hukum Terpadu (Gakumdu) yaitu bawaslu, kejaksaan, dan Kepolisian, lebih mengintensifkan operasi untuk meminimalisir terjadinya politik uang. “Selama ini, bahkan di Pemilu sebelumnya, itu (politik uang) nyata. Artinya bukan kesalahan sistemnya, namun penegakan hukum yang harus dilakukan secara masif, sehingga memimalisir praktik-praktik politik uang," tandasnya. Adanya politik uang, diakui anggota Komisi A DPRD Surabaya ini membuat sistem politik di Indonesia menjadi tidak sehat. “Mau sistem demokrasi apapun kalau politik uang masif dan dibiarkan nyata, ya selamanya demokrasi kita akan mahal," kata Toni. Di sisi lain, pelayan atau wakil rakyat merupakan orang yang dipilih dalam satu periode untuk melayani konstituennya. Karena itu, dengan menggunakan sistem proporsional terbuka, maka masyarakat dapat langsung memilih wakil rakyat yang dikehendakinya. “Kalau menggunakan proporsional tertutup, partai lah yang menentukan. Tugas partai adalah memproduksi kader-kader untuk dikaryakan di bidang pemerintahan, tapi pemegang mandatnya tetap rakyat," tegas dia. “Jadi, tetap rakyat yang harus menentukan," tambah Toni. Toni yang juga mantan jurnalis kawakan ini mencontohkan, semisal Partai Golkar dalam satu daerah pilihan (dapil) menyiapkan 10 kader terbaiknya. Nah, rakyat lah yang akan menentukan siapa yang akan duduk mewakilinya di dapil tersebut. Semua itu tergantung sejauh mana partai melakukan pendidikan politik kepada masyarakat. “Saya berharap, sistem proporsional terbuka ini tetap dipertahankan. Kalau masih banyak kekurangannya, maka tanggung jawab kita bersama untuk memperbaiki. Kita urai problematikanya," tuntas Toni. (bin)

Sumber: