Sisi Pastoral Ande-ande Lumut dan Pencegahan Pelecehan Seksual

Sisi Pastoral Ande-ande Lumut dan Pencegahan Pelecehan Seksual

Surabaya, memorandum.co.id - Tontonan ringan dengan pesan nyata menjadi trend pertunjukan panggung zaman kini. Zaman di mana kerumitan dan kompleksitas lebih nyata dari fiksi. Sehingga fiksi, termasuk dunia panggung, mengambil jalur lain: riang, ringan, dan langsung menyasar ke arah maksud, ke arah pesan. Demikianlah yang terpampang dalam pentas operet Si Kuning Miss Universe Negeri Jenggala, karya adaptasi cerita Ande-Ande Lumut garapan Raff Dance Company Indonesia pimpinan Arif Rofiq yang sekaligus sebagai Sutradara saat dipertunjukkan di Gedung Cak Durasim, Sabtu (7/1/2023). Adaptasi Si Kuning Miss Universe Negeri Jenggala ini secara kronologi sama dengan Ande-Ande Lumut, tetapi bukan tentang para perempuan melamar Ande-Ande Lumut, seorang pangeran dari Jenggala, tetapi para perempuan yang ingin mengikuti kontes putri idaman di negeri Jenggala. "Kisah perjalanan menuju Jenggala inilah yang diangkat menjadi tema Pencegahan Pelecehan Seksual karena memang untuk mencapai prestasi harus melalui sikap etika yang waspada dan tidak mudah terbujuk rayu hanya karena bertendensi ingin menolong. Pertunjukan ini diproduksi untuk mengingatkan anak-anak agar berani bertindak saat terjadi suatu kejahatan," kata Arif Rofiq. "Dalam cerita ini ingin mengingatkan pada anak-anak kalau ada hal yang mencurigakan sebaiknya dilaporkan kepada pihak yang berwenang seperti polisi, tetapi polisi terdekat kita adalah orang tua," sambungnya. Pementasan berlangsung ceria. Diawali dengan kemunculan seluruh kru pentas yang terdiri atas 80 penari anak dan remaja yang berlatih di Sanggar tari Raff Dance Company Indonesia. Kemudian disusul masuknya aktris Si Kuning yang tersesat di hutan. Kemudian pertemuan dengan Ibu (Mbok Rondo Dadap) dari Si Merah, Si Hijau, dan Si Biru. Kisah pun bergulir layaknya Cinderella. Sedih bercampur riang khas drama musikal. Yang patut diapresiasi dalam pertunjukan ke-4 Raff Dance Company setelah Kancil mencuri Timun (2000), Bawang Merah Bawang Putih (2006), dan Sawunggaling Punya Cita-Cita (2013) ini adalah bagian Yuyu Kangkang. Bagian ini didahului koreografi Angsa Putih yang bergerak dalam bangun artistik sebuah gelombang sungai dari plastik dan tata cahaya putih kebiruan khas langit siang. Musik mengalun dalam hentakan magis nan dramatis. Kali Brantas yang menjadi setting adegan dalam babak ini muncul tidak dalam sapuan mooi indie namun pastoral. Bisa dibayangkan bahwa bagian ini serupa meski tak sama dengan Swan Lake Pyotr Ilyich Tchaikovsky. Adegan bertambah asyik usai Angsa Putih hilang berganti gelombang Kali Brantas meninggi dan munculnya aktor Yuyu Kangkang. Gelombang air divisualkan via sejumlah penari berjajar horisontal berkostum jas hujan plastik membawa kipas lipat besar yang terbuka dan menggerakkannya ke atas dan ke bawah secara bergantian serupa gelombang. Di belakang barisan penari gelombang ini sosok Yuyu Kangkang hadir dengan gerakannya yang garang. Babak ini, yang menggambarkan penyeberangan Si Merah, Hijau, dan Biru, menjadi puncak pementasan. Peristiwa pelecehan yang menjadi fokus tema muncul di babak ini dengan pola artistik yang asyik: balutan kipas lipat besar yang mengembang. "Operet ini mengedukasi anak. Jadi, dalam cerita, bukan para perempuan yang melamar tetapi perempuan yang berusaha untuk berprestasi dan dalam akhir cerita Miss Kuning diangkat sebagai putri mahkota kerajaan jenggala. Kisah ini tidak hanya mengedukasi pencegahan pelecehan seksual tetapi juga bullying yang keduanya sangat marak dalam kehidupan anak-anak saat ini," kata Arif Rofiq.(ziz)

Sumber: