Bintang Terang Mahasiswa yang Sopir Arisan Sosialita (3)
Selama berdua, Krisna merasa tindak-tanduknya amat kaku. Itu dia sadari. Bukan tanpa sebab itu terjadi. Nitha memperlakukannya bak lelaki terhormat. Bukan sebagai sopir. Usai makan malam, mereka tidak langsung meninggalkan tempat. Masih ngobrol ngalor-ngidul. Di balik usianya yang sudah tidak muda lagi, ternyata Nitha tidak ketinggalan pembicaraan up to date kaum milenial. Menjelang pukul 23.00, Nitha menguap. Tidak hanya sekali, tapi berkali-kali. “Aku ngantuk. Kita istirahat di kamar, yuk. Kebetulan Mbak Nitha (sebutan Nitha untuk dirinya sendiri, red) punya kamar pribadi di sini,” kata Nitha. “Kamar ribadi, Mbak?” tanya Krisna. Dia juga memanggil Nitha dengan sebutan mbak, meniru sebutan pemilik nama. “Mbak kan punya saham di hotel ini.” Krisna terkejut. Ternyata benar apa yang dikatakan Andik, anggota arisan ini bukan orang kaya kaleng-kaleng. Tapi benar-benar pantas disebt sosialita. Cantik-cantik dan kaya-kaya. “Tapi maaf Mbak. Ibu sedang sakit dan tidak ada yang menemani beliau.” “Ya sudah. Tapi Mbak Nitha tetap memaksamu ikut ke kamar. Mau Mbak kasih sesuatu. Setelah itu, silakan pulang. Oke?” kata Nitha sambil mengerling. Bagai kerbau dicocok hidungnya, Krisna mengikuti langkah Nitha menuju kamar. Berjalan di belakangnya. Tak bisa dielakkan, mata Krisna tertuju ke bokong Nitha. Tampak padat, berisi, mantap. Bokong itu bergoyang ke kanan ke kiri serasi dengan langkah kakinya. Begitu masuk kamar, Nitha membuka lemari, mengeluarkan brankas mini, dan mengambil dua tas belanja kecil. “Ini ada dua tas. Oleh-oleh Mbak dari Singapura. Kalau malam ini kamu mau nemani Mbak istirahat di sini, kedua-duanya jadi milikmu. Tapi kalau kamu memang terburu-buru mau pulang, bawa satu saja.” Krisna bersikukuh mau pulang menemani ibunya yang sakit. Walaupun tah, sejatinya di rumah tidak ada yang sakit. Itu hanya alasan Krisna untuk menghindari jebakan yang mungkin saja dipasang Nitha. Selain itu, dia takut bila terlalu lama berdekatan dengan Nitha, nanti ada setan adu-adu. “Bahaya,” pikir Krisna. Rawan terjadi korsleting. Bayangkan saja, Nitha mirip sekali dengan artis idolanya. Suaranya yang lembut mendesah mampu menguras emosi di dalam hatinya, meski mereka berasal dari generasi berbeda. Akting Mitha dengan wajahnya yang sendu dan adem selalu mengundang simpati untuk meringankan beban yang diembannya. Krisna memang gandrung artis ini. Semua sinetron dan lagunya dikoleksi rapi tanpa satu pun tertinggal. Krisna yakin bakal terjadi sesuatu andai dia menuruti permintaan Nitha menemani perempuan tersebut bermalam di hotel. Krisna meraba saku kiri celananya. Mengambil sesuatu yang tadi diselipkan Nitha. Krisna kaget. Rp 10 juta. Nilai yang sangat besar baginya. Dengan uang ini saja, dia sudah sanggup melunasi utangnya kepada Andik. Bahkan masih lebih. Krisna lantas membuka tas kecil yang dia bawa. Ternyata ringan-ringan saja. Pelan-pelan Krisna membukanya. Wow… jam tangan militer yang sangat bagus. Yang sudah dia impi-impikan sejak kelas satu SMA. Seminggu lalu dia melihat jam seperti itu waktu diajak teman membelinya di Tunjungan Plaza. “Ini hadiah dari Papa. Aku disuruh beli sendiri, nanti uangnya diganti. Aku kan ultah,” kata temannya itu. Krisna melirik harga jam tangan tersebut di papan kertas kecil yang digantung di gelangnya. “Waduh, Rp 2,190 juta,” batin Krisna, yang lantas melanjutkan membatin, “Lalu kira-kira apa ya isi tas yang satunya tadi?” (jos, bersambung)
Sumber: