Bintang Terang Mahasiswa yang Sopir Arisan Sosialita (1)

Bintang Terang Mahasiswa yang Sopir Arisan Sosialita (1)

Krisna (nama samaran) mulutnya terkunci. Rapat. Wajahnya tertunduk lesu di ruang rumah tamu rumah Memorandum. Sudah lima bulan ia nunggak pembayaran uang kuliah. Bila sampai bulan depan tidak segera melunasi, dia terancam di-DO (drop out). Krisna tidak bisa lagi mengambil cuti karena jatah cutinya sudah habis. Karena itu dia bingung. Pusing 13 keliling. Jangankan membayar uang kuliah, uang untuk makan sehari-hari saja harus didapatkan ibunya dari utang sana-utang sini. Gali lubang tutup lubang. Kesulitan itu terjadi sejak ayahnya yang bekerja sebagai sopir operator mesin produksi alat-alat rumah tangga terserang stroke, satu setahun silam. Terjadi pendarahan pada pembuluh darah di batang otak. Kini ayahnya lumpuh. Tulang punggung keluarga pun beralih ke ibunya. Perempuan paruh baya itu tidak bisa berbuat banyak. Dia hanya aparatur sipil negara (ASN) rendahan di kantor kecamatan Surabaya Barat. Kakak perempuan Krisna juga tidak bisa membantu. Suaminya memang keren. Pegawai bank. Tapi, sudah tujuh tahun ini status kepegawaiannya tidak pernah meningkat. Hanya kotrak. “Sudahlah, ikut aku saja,” kata temannya, sebut saja Andik. Krisna menggeleng karena tahu apa pekerjaan temannya itu. Dan, bukan kali ini saja ajakan itu ditawarkan. “Awalnya memang canggung. Tapi kalau sudah biasa, kau akan menikmatinya,” kata Andik. “Terima aja, Kris. Siapa tahu ini pintu keberhasilanmu. Yang penting hati-hati,” sela teman lain, sebut saja Faried, “Sebenarnya aku ada. Tapi, kadung diisi saudara dari desa. Jadi sopir pribadi Ibu. Cocok untuk kamu. Hanya antar-jemput kerja dan sesekali shopping.” Faried memang anak orang kaya. Ayahnya pejabat dan ibunya sosialita yang pengusaha sukses. Istilahnya kekiniannya: Faried anak keluarga sultan. Dulu, sebelum jadi teman kuliah Krisna, Faried kuliah di perguruan tinggi negeri. Karena terlibat tawuran dan ketahuan memakai obat-obatan terlarang, dia di-DO dan terpaksa harus pindah kuliah ke kampus yang juga tempat kuliah keponakan Memorandum. “Seandainya aku menerima tawaranmu, apa sih Ndik yang harus aku kerjakan?” kata Krisna kemudian setelah berdiam diri cukup lama. “Hanya nemani dinner tante-tante merayakan keberutungan setelah memenangkan lot arisan bulanan. Cuma itu.” “Edan kamu. Hanya itu katamu?” “Kamu bisa menolak kok kalau mereka memaksa kamu berbuat macam-macam. Perjanjiannya hanya menemani makan malam. Titik. Tidak lebih,” tegas Andik, yang mengakui dirinya sudah beberapa kali menemani tante-tante yang memenangi lot arisan. “Sungguh?” tanya Krisna, yang tampaknya menyangsikan pernyataan Andik. Andik tersenyum, mencoba meyakinkan Krisna. Krisna terlihat menarik napas panjang sambil menunduk sebelum menengadah dan memandangi tajam mata Andik. “Sumpah hanya itu?” tegasnya bernada seperti menyangsikan. “Apa yang ada dalam pikiranmu.” (jos, bersambung)  

Sumber: