Tanah Waduk Disikat
Surabaya, memorandum.co.id – Kejaksaan Tinggi Jawa Timur akhirnya menetapkan dua orang tersangka dalam perkara tindak pidana korupsi aset Pemkot Surabaya berupa waduk persil 39, Kelurahan Babatan, di Jalan Jalan Raya Babatan - Unesa. Dua tersangka yaitu SMT (57) dan DLL (72), keduanya warga Wiyung. Mereka menjual waduk itu ke seorang pengembang property. Akibatnya, negara mengalami kerugian hingga Rp 11 miliar. Jauh sebelum kasus ini mencuat, Kepala Pusat Data Statistik Kriminal dan Teknologi Informasi (Kapusdaskrimti) Kejaksaan RI Didik Farkhan Alisyahdi, SH., MH., yang saat itu menjabat Kepala Kejaksaan Negeri Surabaya pernah menuliskan kasus ini dalam bukunya yang berjudul “Jaksa vs Mafia Aset” (2019). Berikut tulisan Didik Farkhan dalam buku “Jaksa vs Mafia Aset”
Tanah Waduk Disikat Tidak peduli. Emang Gue Pikirin (EGP). Itulah motto para mafia tanah. Tak peduli milik siapa, pribadi atau Negara akan disikat. Tak peduli fasilitas umum sekalipun. Yang penting “asyik” bisa menguasai, memiliki dengan berbagai cara. Lihat saja setelah tanah sekolahan (SDN Ketabang I), tanah kuburan (Makam Pahlawan), kali ini tanah berupa waduk. Banyak yang tidak percaya, tanah berupa waduk yang selalu “berair” itu juga diincar. Semula saya juga tidak percaya. Untuk apa waduk? Setelah mengecek sendiri, barulah saya percaya. Waduk bisa jadi sasaran empuk. Ya, Waduk Wiyung di Kelurahan Babatan, Kecamatan Wiyung, Kota Surabaya adalah contohnya. Pada 2017, saat saya masih menjabat Kepala Kejaksaan Negeri (Kajari) Surabaya menerima rombongan Pemkot Surabaya. Dipimpin Walikota, Bu Risma, melaporkan pidana. Ya, Pemkot Surabaya melapor telah “kehilangan” waduk. Dengan runtut, Bu Walikota cerita. Tentang sejarah waduk. Bahwa Pemerintah Kota Surabaya sejak awal kemerdekaan sudah mencatat waduk itu sebagai aset Negara. Tercatat dalam register 2381805 di Sistem Informasi Manajemen Barang Daerah (SIMBADA).
Sumber: