Riak Rumah Tangga Wartawan yang Ngeri-Ngeri Sedap (4)

Riak Rumah Tangga Wartawan yang Ngeri-Ngeri Sedap (4)

Suatu pagi Aguk muncul di pojok pagar rumah. Waktu itu Memorandum sedang menyirami tanaman. Matahari saja belum menggeliat sempurna menyapa bunga-bunga bermekaran. “Hampir setiap hari aku memikirkan saranmu. Tapi tidak bisa. Lia sudah kadung menancap di hati,” kata Aguk. “Apa kau punya masalah dengan istrimu?” “Tidak. Kami baik-baik saja. Ini tidak ada hubungannya dengan Susi.” “Ada. Pada kasus ini, Susi tidak bisa ditiadakan begitu saja. Dia berhak atas kamu. Demikian juga kamu berhak atas dia. Maka kalau kamu sampai melakukan hal-hal yang salah di mata Susi, dia berhak marah. Begitu sebaliknya.” Aguk diam. Mungkin mencerna kata-kata tadi. “Aku memang salah. Tapi, aku tidak bisa meninggalkan Lia,” kata Aguk. Pelan. “Bukan tidak bisa. Tidak mau.” “Mungkin.” “Kok mungkin?” “Entahlah.” Memorandum berteriak memanggil istri, “Bikinkan kami kopi. Biar kami nggak salah paham.” Mendengar itu, Aguk tampak tersenyum. Kecut. “Mas, aku ingin curhat,” kata Aguk setelah menyeruput kopi seduhan istri. Kopi ketumbar yang memiliki aroma dan rasa khas. Kopi ini meninggalkan rasa asam-pahit-getir yang menyatu di langit-langit mulut. Sensasi abstrak. “Begini, Mas,” Aguk menatap mata Memorandum lekat-lekat sebelum memulai curhatnya. Lalu, pelan-pelan dia bercerita bahwa perkawinan dia vs Susi yang sudah berlangsung berpuluh tahun sebenarnya tidak pernah ada masalah. Memang tidak. Aguk lantas menjelaskan bahwa selama perkawinannya itu, mereka hanya sempat dikaruniai seorang anak. Aguk mengatakan hanya sempat, karena faktanya anak tersebut sudah meninggal pada usia tujuh tahun. “Aku sudah tahu itu.” Aguk tidak peduli. Dia melanjutkan bicaranya, “Padahal Sampeyan tahu, perjuangan kami untuk mendapatkan anak itu sangat berat dan panjang. Anak mahal.” Ada air mata yang tertahan ketika Aguk menceritakan soal anak semata wayangnya ini, yang meninggal lima tahun lalu karena jantung dan livernya bermasalah. Anak tersebut dipanggil Yang Mahakuasa di pangkuan Aguk dan dalam dekapan ibunda tercinta. “Intinya, aku merindukan seorang anak. Tapi seperti Mas tahu, Susi tidak mungkin hamil lagi. Kondisinya tidak memungkinkan.” Memorandum mulai membaca arah pembicaraan Aguk, yang tampaknya ingin menjadikan Lia sebagai solusi atas masalahnya. Tapi apakah mungkin? Lia adalah keponakan Susi, yang pada hakikatnya memiliki ikatan tali mahrom dengan Aguk. “Jadi, kau ingin menjadikan Lia sebagai solusi terhadap masalah ini?” tebak Memorandum. Aguk diam. Wajahnya tegang. “Itulah masalahnya, Mas. Tiga hari lalu tiba-tiba Susi mengajakku bicara serius. Dia bertanya apakah aku masih ingin punya anak lagi sebagai pengganti anak kami yang sudah tiada? Aku tidak sanggup menjawab.” Susi melanjutkan, kalau memang Aguk menginginkan itu, Susi mengaku punya solusi. Saat itu tiba-tiba Susi menyebut nama Lia. Ya, Lia. “Dia mengatakan mungkin Lia bisa menjawab keinginanku itu,” kata Aguk. (jos, bersambung)  

Sumber: