Riak Rumah Tangga Wartawan yang Ngeri-Ngeri Sedap (3)

Riak Rumah Tangga Wartawan yang Ngeri-Ngeri Sedap (3)

Mendengar pengakuan Lia, Aguk yang baru dikanvaskan perempuan itu langsung sesak dada. Kepalanya berputar-putar nyaris pingsan. Badannya lemes-mes-mes-mes. “Om Aguk tidak perlu khawatir. Lia tidak akan bercerita kepada Tante,” kata Lia sambil memunguti pakaiannya yang tercecer di lantai. Aguk tidak mampu bergerak. Persendiannya seperti lumpuh. “Sudah lama Lia di sini?” tanya Aguk setelah merasa kesadaran dan kekuatannya agak pulih. “Setahun, Om.” Aguk menghentikan ceritanya. Dia berpamitan balik ke kotanya yang berjarak sekitar tiga-empat jam perjalanan dari Surabaya. “Makanya hentikan segera hobimu ini,” saran Memorandum begitu diturunkan di depan rumah. “Salam untuk Susi.” Lebih dari sebulan setelah itu Aguk tidak terdengar kabarnya. Memorandum sengaja tidak menghubungi dan menanyakan kabar tentang Lia. Khawatir dibilang kepo, walaupun kepo adalah bagian penting dari seorang wartawan. Dua minggu kemudian Aguk yang menelepon. Dia sendiri yang membuka cerita soal Lia. Katanya, dia iseng-iseng bertanya kepada Susi bagaimana kabar Lia setelah kematian suaminya. Menurut Susi, tambah Aguk, Lia merantau ke Medan. Lia diminta menemani ibu mertuanya yang sudah lama hidup sendirian. Mereka membuka rumah makan dan sekarang sudah sukses. Panjang lebar Aguk bercerita soal Lia dari cerita yang dia dengar dari Susi. Tentu saja semua tidak benar. Aguk hanya manggut-manggut mengiyakannya. Padahal, pengakuan Aguk, hampir setiap dua pekan dia mendatangi Lia di kos-kosannya di kawasan Dukub Pakis, Surabaya. “Sebenarnya Lia tidak pernah menuntut aku mendatangi dia. Aku sendiri yang berinisiatif datang karena merasa bertanggung jawab harus nyambangi dan merhatiin nasib dia,” aku Aguk. “Nyambangi karena kangen?” goda Memorandum. Aguk diam. Lama tidak merespons. “Entahlah,” kata Aguk pada akhirnya. Lantas kembali diam. Sepi. Memorandum membiarkan kekosongan itu berjalan pelan-pelan menelan waktu kami. Merambat di gelombang sambungan telepon. “Kamu tidak bermaksud menghentikan saja hubunganmu dengan Lia?” tanya Memorandum setelah lama tidak mendengar Aguk melanjutkan kalimat-kalimatnya. Aguk masih diam. Sepertinya pikiran dia berputar-putar di pusaran keraguan. “Saranku, Guk. Hentikan segera sebelum semuanya terlambat.” Tetap belum ada respons. (jos, bersambung)  

Sumber: